Thumbnail

Berita

3 Riset Ini Jadi Acuan Menteri Keuangan Menaikkan Cukai Rokok

Amru Aginta Sebayang11 Jan 2022

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani resmi menetapkan kenaikan tarif cukai sebesar rata-rata 12,05% untuk tahun administrasi 2022. (Sumber gambar: Antara)


Jakarta, 12 Januari 2022 – Pemerintah melalui Menteri Keuangan RI Sri Mulyani resmi menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 1 Januari 2022. Kenaikan rata-rata tarif cukai berkisar pada angka sekitar 2,5% hingga 14,4% atau rata-rata di angka 12,05%. Sementara, kenaikan untuk rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) mencapai titik maksimum di angka 4,5%. 


Kebijakan kenaikan cukai rokok bertujuan (1) menurunkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun pada 2024, (2) menekan produksi rokok sekitar 200 juta batang, (3) menghindari down trading (konsumen beralih ke rokok lebih murah), (4) mencegah pabrik rokok mendapatkan cukai lebih rendah, dan (5) menambah potensi penerimaan negara. 

Berbeda dengan pajak yang hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan negara cukai adalah pungutan negara yang dikenakan kepada barang-barang tertentu dengan sifat atau karakteristik tertentu. Misalnya, barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, dan pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat maupun lingkungan hidup. 


Kenaikan CHT tahun ini tentu perlu diapresiasi, mengingat dampak ekonomi dan kesehatan yang begitu besar akibat konsumsi rokok. Kebijakan ini didasarkan berbagai temuan akademisi dan lembaga masyarakat yang merangkum kerugian akibat rokok melalui berbagai riset di bawah ini. 


Pertama, riset PKJS UI (2018) tentang konsumsi rokok menghambat pembangunan manusia dan membebani biaya ekonomi dan kesehatan. Temuan utama Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menyatakan anak dari keluarga dengan perokok aktif 5,5% lebih rentan mengalami stunting dibandingkan anak dari keluarga yang tidak merokok. 


Riset yang didiseminasikan pada 2018 ini menyebut perilaku merokok mempengaruhi kondisi gizi anak melalui dua tahapan. Pertama, melalui asap rokok. Asap rokok terbukti mengganggu penyerapan gizi pada anak dan mengganggu tumbuh kembangnya. Kedua, dari sisi biaya belanja rokok. Orang tua yang merokok cenderung mengurangi biaya belanja makanan bergizi, biaya kesehatan, ataupun biaya pendidikan untuk membeli rokok.  


Penelitian yang menggunakan data dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) sepanjang 1997-2014 ini membuktikan perilaku merokok orang tua mempengaruhi tinggi dan berat badan anak. Konsumsi rokok sekitar 3,6% pada 1997 melonjak menjadi 5,6% pada 2014, sementara terjadi penurunan signifikan konsumsi kebutuhan esensial lain.

Lebih lanjut, penelitian ini menegaskan anak yang tinggal dengan orang tua tidak merokok akan tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0,34 cm lebih tinggi dibanding anak yang tumbuh dari keluarga yang merokok. 


Kedua, Survei Komnas PT (2020) tentang kecenderungan kenaikan konsumsi rokok di masa pandemi menambah beban ekonomi. Survei Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) terhadap 612 responden di berbagai daerah menyebut ada kecenderungan peningkatan pengeluaran untuk rokok sebesar 13,1% selama pandemi. Adapun, rentang waktu survei adalah 15 Mei-15 Juni 2020 (tiga bulan setelah pernyataan Status Darurat COVID-19 pada 29 Februari 2020).


Ironisnya, responden sebesar 77,14% atau mayoritas yang meningkatkan pengeluaran untuk rokok berasal dari kelompok penghasilan kurang dari lima juta rupiah. Sementara itu,17,8% dari kelompok ini berpenghasilan antara 2-5 juta rupiah dan 9,8% lainnya berpenghasilan kurang dari 2 juta rupiah. 


Di sisi lain dari segi konsumsi, mayoritas 50,2% responden mengaku jumlah batang rokok yang dikonsumsi selama pandemi tetap. Sebanyak 15,2% responden lain menyebut jumlah batang rokok selama pandemi meningkat. 

Sebesar 69,77% responden yang alami peningkatan batang rokok berasal dari kelompok penghasilan kurang dari 5 juta rupiah. Sementara, 18,1% berasal dari responden berpenghasilan antara 2-5 juta rupiah.

Temuan riset ini mematahkan persepsi yang menyebut perilaku merokok menurun selama pandemi. Alih-alih demikian, rokok justru tetap menambah beban ekonomi dan masyarakat yang terdampak krisis ekonomi selama pandemi. 


Ketiga, Riset CISDI (2021) tentang konsumsi rokok beri beban biaya kesehatan sebesar Rp 17,9 – 27,7 triliun selama setahun dikarenakan penyakit akibat rokok. Temuan Riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyatakan kebiasaan merokok ciptakan beban ekonomi kesehatan di Indonesia mencapai Rp 17,9 hingga 27,7 triliun pada 2019 lalu.


Studi ini berupaya mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan penyakit-penyakit mematikan, namun bisa dicegah, yang disebabkan konsumsi rokok. CISDI menyebut mayoritas beban biaya ekonomi kesehatan berasal dari biaya rawat inap dan perawatan yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. 


Angka 17,9 hingga 27,7 triliun rupiah setara dengan 61,76% hingga 91,8% total defisit JKN pada 2019 lalu. Riset ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar atau RISKESDAS (2018), SUSENAS atau Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (2018-2019), dan data administratif BPJS Kesehatan (2019). 


Temuan ini sekaligus membantah pandangan bahwa produk tembakau memberi sumbangan finansial yang seimbang kepada sektor kesehatan melalui mekanisme Pajak Rokok Daerah hingga Dana bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCHT) yang hanya sebesar 7,4 triliun rupiah. 


Kenaikan cukai rokok pada tahun ini tentu perlu diapresiasi. Selain bertujuan mulia untuk mengurangi segala kerugian yang ditimbulkan akibat konsumsi rokok, dasar pengambilan kebijakan mengikuti hasil riset ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. 


Harapannya, di masa depan angka rata-rata kenaikan cukai tembakau bisa semakin tinggi untuk menekan segala kerugian akibat rokok. Di saat bersamaan, pemerintah juga perlu memitigasi kelompok masyarakat yang terdampak kebijakan ini, seperti petani atau kelompok lain yang terlibat dalam rantai produksi rokok.


Terbaru