CISDI Luncurkan Dokumen Kebijakan, ....

Thumbnail

Opini

CISDI Luncurkan Dokumen Kebijakan, Soroti Absennya Perspektif Kesehatan dan Gender dalam RKUHP

Amru Aginta Sebayang18 Agu 2022

Jakarta, 19 Agustus 2022 – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai pemerintah belum memasukkan perspektif kesehatan dan gender dalam proses penyusunan RKUHP. Ini terlihat dari ditemukannya beberapa pasal bermasalah.


“Tidak diperhatikannya perspektif kesehatan dan gender berpotensi menyebabkan kerentanan baru bagi beberapa kelompok,” tutur Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI dalam Peluncuran Dokumen Kebijakan Pentingnya Perspektif Kesehatan dan Gender dalam Proses Penyusunan RKUHP pada Jumat (19/8). CISDI menilai beberapa pasal dan ketentuan cenderung kontraproduktif dengan upaya peningkatan capaian kesehatan dan perlindungan kelompok rentan.


Pertama, risiko kontraproduktif terhadap peningkatkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi.

Pasal 412 melarang orang “mempertunjukkan”, “menawarkan”, “menyiarkan tulisan”, dan “menunjukkan” alat pencegah kehamilan kepada anak. Sementara, dalam pasal 414 ayat 1 disebutkan hanya petugas berwenang atau relawan yang ditunjuk pejabat berwenang yang boleh melakukan promosi kesehatan reproduksi dengan alasan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.


Ketentuan ini menyulitkan anak dan remaja mendapatkan edukasi perihal kesehatan seksual dan reproduksi (kespro) yang utuh. “Padahal, persoalan kesehatan reproduksi bersifat multidimensional, termasuk adanya keterbatasan tenaga dan layanan. Dalam masalah kehamilan remaja diperlukan bantuan banyak pihak untuk memberikan edukasi bagi anak dan remaja. Selain itu, pendidikan kespro dari teman sebaya juga terbukti efektif untuk edukasi kesehatan seksual dan reproduksi,” tutur Olivia kembali.


Kedua, risiko meningkatnya kerentanan korban kekerasan seksual dan praktik perkawinan anak.

Pasal 415 tentang perzinahan dan pasal 416 mengenai kohabitasi berpotensi membuat korban kekerasan rentan dilaporkan atau diadukan. Ketentuan pasal 415, misalnya, menyatakan setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan yang bukan suami atau istri bisa dipidana.


“Padahal data 129 lembaga layanan menunjukkan kasus pemerkosaan merupakan kekerasan seksual yang paling dominan terjadi di dalam ranah relasi personal (25%),” ujar Olivia.


Banyaknya kasus pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual yang dilakukan orang-orang dalam relasi personal/dekat berpotensi menempatkan korban pada posisi sulit dan rentan dilaporkan atau diadukan menggunakan pasal karet perzinahan dan kohabitasi RKUHP.


Selain itu, masih terdapat celah yang memungkinkan terjadinya praktik perkawinan anak akibat longgarnya ketentuan terkait dispensasi (pemberian izin kawin) yang dapat diajukan orang tua. Di batang tubuh maupun pasal penjelas UU No. 16 Tahun 2019 mengenai perkawinan, dispensasi bisa diberikan “dengan alasan sangat mendesak”. Tapi tidak dijelaskan secara rinci apa alasan tersebut.


Ini ditunjukkan dengan maraknya praktik perkawinan anak pasca pengesahan revisi UU Perkawinan pada 2019 lalu dan pada masa pandemi. Dorongan orang tua serta timpangnya relasi kuasa antara orang tua dan anak dalam pengambilan keputusan terkait perkawinan menjadi faktor pendorong yang memungkinkan terjadinya pengajuan dispensasi.


Data Komnas Perempuan (2022) menunjukkan angka dispensasi perkawinan anak yang dikabulkan pengadilan agama pada 2020 mencapai 64.211 pengajuan. Ini meningkat hampir 300% dari tahun sebelumnya (23.126 pengajuan dispensasi).


“Studi di berbagai negara yang mempidanakan perilaku seksual berisiko juga menunjukkan keputusan orang tua mengawinkan anaknya merupakan upaya yang sering diambil untuk menghindari stigma dan ancaman pidana,” ujar Olivia.


Belum lagi kriminalisasi perilaku seksual juga membuat remaja enggan mencari dan mengakses informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi karena takut dituduh melakukan pelanggaran pidana.


Berdasarkan catatan di atas, CISDI mendesak pemerintah dan DPR untuk:


  1. Menggunakan lensa kesehatan dan gender dalam perumusan RKUHP.
  2. Melibatkan publik secara bermakna dan transparan dalam proses perumusan RKUHP.
  3. Menghapus pasal 412 dan 414 mengenai alat kontrasepsi dan pasal 415-416 tentang perzinaan dan kohabitasi.


Unduh dokumen kebijakan di https://storage.googleapis.com/cisdi_document/Pentingnya-Perspektif-Kesehatan-dan-Gender-dalam-Proses-Penyusunan-RKUHP.pdf


Terbaru