
Opini
Kota sehat: Berpotensi sejahterakan warga, kenapa masih terkendala?
CISDI Secretariat • 19 Des 2024
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah meluncurkan program Kabupaten Kota Sehat (KKS) sejak tahun 2005. Kebijakan ini bertujuan mewujudkan kabupaten/kota yang bersih, nyaman, aman, dan sehat untuk dihuni masyarakatnya.
Berdasarkan data Kemenkes pada 2024, sekitar 387 kabupaten/kota telah menyelenggarakan KKS, dari Kota Banda Aceh hingga Jayapura.
Sayangnya, penerapan KKS hingga saat ini belum maksimal sehingga masyarakat belum merasakan dampaknya secara signifikan. Contohnya, masyarakat di kawasan Indonesia Timur masih kesulitan mendapatkan pelayanan medis yang memadai akibat tidak meratanya akses layanan kesehatan di sana.
Padahal, jika diterapkan dengan optimal, program KKS dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan berpotensi mengurangi biaya kesehatan. Pasalnya, KKS memiliki sembilan konsep penyelenggaraan yang dapat mewujudkan hal tersebut, termasuk mengutamakan kesehatan masyarakat dalam semua kebijakan, memberdayakan mereka, serta meningkatkan kualitas maupun akses layanan kesehatan dan sosial untuk masyarakat.
Pelaksanaan kota sehat belum maksimal
Penelitian di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa 80-90% kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor nonmedis berupa determinan sosial kesehatan atau social determinants of health (SDH), yaitu kondisi sosial yang memengaruhi kesempatan seseorang untuk menjadi sehat. SDH meliputi kondisi lingkungan, budaya, status sosial-ekonomi, akses terhadap infrastruktur, hingga kebijakan yang inklusif.
Indonesia menghadapi berbagai tantangan untuk memenuhi SDH dalam pembangunan Kabupaten Kota Sehat, di antaranya:
1. Buruknya kondisi lingkungan dan akses kesehatan
Di Jakarta, buruknya kualitas udara dengan polusi yang melebihi batas aman merupakan masalah utama dalam penerapan KKS. Sementara itu, di sejumlah daerah di Kalimantan Barat, akses terhadap sanitasi yang layak masih menjadi problem besar bagi warga setempat.
Selain masalah lingkungan, penerapan kebijakan KKS terkendala akibat tidak meratanya distribusi fasilitas, peralatan, dan tenaga kesehatan di sejumlah kabupaten maupun kota kecil di Indonesia.
2. Aturan yang belum cukup kuat
Hingga saat ini Indonesia belum memiliki Peraturan Presiden (Perpres) Kabupaten Kota Sehat sebagai aturan yang lebih tinggi dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Penyelenggaraan program KKS selama ini baru berbasiskan peraturan bersama dari Kemenkes dan Kemendagri.
Ketiadaan Perpres KKS menghambat berbagai inisiatif strategis yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan di kabupaten/kota, mulai dari koordinasi lintas sektor, perumusan kebijakan tingkat daerah, pengalokasian anggaran khusus, pendampingan dan penguatan kapasitas, monitoring dan evaluasi, hingga percepatan peningkatan indikator kesehatan.
Perpres KKS merupakan payung hukum yang bisa membuat semua inisiatif tersebut berjalan terstruktur, sistematis, dan terukur. Pasalnya, Perpres KKS memiliki kekuatan hukum untuk mendorong koordinasi antarkementerian lembaga dan pemerintah daerah, mendukung pengalokasian sumber daya yang jelas dari pusat hingga daerah, serta berperan sebagai pedoman nasional dalam menjalankan kebijakan KKS yang konsisten.
Sayangnya, alih-alih mengesahkan Perpres KKS guna meningkatkan kualitas determinan sosial kesehatan pada setiap kabupaten/kota, pemerintah pusat sejauh ini mendorong keberlanjutan program KKS sebatas melalui pemberian penghargaan Swasti Saba. Penghargaan ini berlaku bagi kabupaten/kota yang masuk kategori KKS tiap dua tahun sekali.
Padahal, dengan mengesahkan Perpres KKS, kebijakan Kabupaten Kota Sehat tidak hanya sebatas menjadi inisiatif daerah, melainkan agenda nasional yang terintegrasi dan berkelanjutan.
3. Pemerintah belum menggandeng masyarakat
Alasan lain tidak efektifnya penerapan program ini adalah masih minimnya usaha pemerintah dalam melibatkan masyarakat sebagai penerima manfaat sekaligus pengontrol kebijakan Kabupaten Kota Sehat. Sebab, tolak ukur keberhasilan penerapan KKS di sebuah kabupaten/kota, seharusnya tidak hanya melalui penghargaan Swasti Saba. Hal yang terpenting adalah pemerintah daerah harus membuat kegiatan ini terintegrasi, disepakati masyarakat, dan mendorong keterlibatan mereka dalam membangun layanan kesehatan dan sosial bersama.
Keadaan ini sangat disayangkan. Sebab, konsep kota sehat yang pada dasarnya mengupayakan lingkungan yang sehat dengan kualitas udara yang baik, akses fasilitas dasar dan kesehatan yang merata, serta ruang publik yang memadai bisa memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas.
Regulasi ketat dan masyarakat kunci wujudkan kota sehat
Indonesia bisa belajar dari beberapa kota di dunia yang telah berhasil menerapkan konsep kota sehat dengan baik. Di Kopenhagen, Denmark, kebijakan transportasi ramah lingkungan dan ruang publik yang luas berhasil meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakatnya.
Kebijakan tersebut mendorong lebih dari 62% penduduk Kopenhagen memilih bersepeda saat bekerja dan sekolah. Sebanyak 96% warga Kopenhagen juga bisa mengakses taman maupun pantai dengan berjalan kaki selama 15 menit.
Di ibu kota negara tetangga, Singapura, penerapan regulasi ketat mengenai polusi udara dan sanitasi berhasil menciptakan lingkungan perkotaan yang sehat dan nyaman untuk dihuni. Pemerintah setempat mengatur kualitas udara dan strategi pengelolaan polusi dengan menegakkan standar emisi dan mempromosikan transportasi hijau.
Melalui Badan Lingkungan Nasional (NEA), Singapura sukses membuat masyarakatnya mematuhi peraturan ketat, mulai dari standar emisi, pemantauan kualitas udara, insentif untuk kendaraan ramah lingkungan, hingga program pendidikan pengelolaan lingkungan.
Keberhasilan Kopenhagen dan Singapura tidak lepas dari peran kunci masyarakatnya yang patuh dan terlibat dalam regulasi ketat pemerintahnya. Ini termasuk dalam usaha meningkatkan pengetahuan dan pemahaman warga mengenai polusi dan cara mengatasinya. Selain itu, orientasi pembangunan yang mengutamakan fungsi dan manfaat bagi masyarakat turut menjadi faktor penentu kesuksesan Singapura dan Kopenhagen menjadi kota sehat.
Indonesia harus segera berbenah
Untuk mewujudkan kabupaten dan kota yang sehat, pemerintah Indonesia harus menetapkan regulasi yang jelas dan efektif, serta melibatkan masyarakat secara aktif. Karena itu, pemerintah perlu segera merampungkan peraturan penyelenggaraan kabupaten/kota sehat dan turunannya.
Pemerintah juga perlu meningkatkan kolaborasi lintas sektor dan memberdayakan masyarakat yang berperan sebagai penerima manfaat sekaligus pengontrol kebijakan. Dengan pendekatan ini, kebijakan di setiap daerah diharapkan dapat berorientasi pada peningkatan kualitas layanan dan determinan sosial kesehatan masyarakatnya.
Tanpa komitmen yang kuat dari pemerintah, kolaborasi lintas sektor, dan keterlibatan masyarakat, rasanya mustahil mewujudkan kabupaten/kota yang sehat dan berkualitas untuk generasi mendatang. Jangan sampai angan mewujudkan kota sehat di seluruh wilayah Indonesia hanya menjadi jargon semata.
---
Ditulis oleh:
Warid Zul Ilmi, Research and Advocacy Officer for TRACK SDGs, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI)
Artikel ini sebelumnya diterbitkan di theconversation.com pada 19 Desember 2024. Diterbitkan kembali pada website ini untuk tujuan dokumentasi dan pendidikan.