Thumbnail

Opini

Langkah AS dan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

CISDI Secretariat13 Feb 2025

Kurang dari sebulan setelah pergantian pemerintahan, Amerika Serikat mengumumkan menarik diri dari organisasi-organisasi internasional yang berperan krusial dalam tata kelola kesehatan dunia.


AS menarik diri dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Komisi Hak Asasi Manusia PBB; melarang Center for Disease Control (CDC) berkomunikasi dengan semua organisasi eksternal; melarang rilis berbagai data dari situs web CDC; menghentikan dukungan untuk pemberantasan HIV/AIDS melalui PEPFAR atau US President’s Emergency Plan for AIDS.


AS juga membubarkan bantuan pemerintahnya untuk pembangunan global dan kemanusiaan melalui USAID. Penarikan diri AS dari upaya pembangunan, penelitian kesehatan dan pendanaan itu diyakini oleh sebagian besar ahli memiliki dampak merugikan pada kemajuan pembangunan dunia.


Sekonyong-konyong, dunia dihadapkan pada kesenjangan pendanaan yang amat dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa manusia.


Dalam dua dekade terakhir, berbagai program di seluruh dunia melalui PEPFAR telah menyelamatkan 26 juta nyawa dengan memperkuat infrastruktur kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.


PEPFAR bekerja di 54 negara, sebagian besar di Benua Afrika, untuk menyediakan obat antiretroviral yang telah sukses mengendalikan HIV/AIDS; memastikan bahwa layanan berjalan melalui 19.000 petugas klinis dan staf pendukung administrasi; melakukan 224.000 tes HIV; dan menegakkan lebih dari 4.000 diagnosis HIV, termasuk untuk mereka yang sedang hamil.


Dukungan sumber daya PEPFAR juga telah membantu lebih dari 19.000 anak yatim piatu dan anak-anak yang rentan terinfeksi HIV; melakukan 7.163 skrining kanker serviks; dan pemberian perlindungan kepada 3.168 perempuan korban kekerasan seksual berbasis jender. (Lancet, 2025)


Namun, semua hal baik tersebut tidak mengubah keputusan AS untuk berbalik badan. Posisi ini bisa jadi karena perubahan preferensi politis dari Partai Demokrat ke Partai Republik. Perhitungan serta narasi politis tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan ini memancing reaksi keras para pegiat pembangunan dunia.

IklanIklan


Tidak hanya karena selama beberapa dekade AS telah memantapkan dirinya sebagai kontributor pembangunan terbesar di dunia, tetapi juga karena keputusan ini dibungkus oleh posisi yang menolak penerapan lensa DEI (Diversity, Equity and Inclusion).


Padahal, penyelesaian berbagai akar masalah kesehatan meminta cara pandang yang melibatkan semua pihak tanpa kecuali dan memberi suara kepada mereka yang terpinggirkan. Ini dapat dibaca sebagai sikap Pemerintah AS terhadap isu diskriminasi, rasisme, dan kesehatan reproduksi.


Bahkan, pada titik paling ekstrem, bisa diartikan sebagai kembalinya sikap konservatif terhadap populasi LGBTQI; walau sebenarnya merupakan populasi kunci dalam pengendalian HIV/AIDS.


Sebagai salah satu pendirinya, pengaturan mengenai posisi AS sebagai negara anggota WHO diatur melalui kongres/parlemen. Jika karena alasan apa pun AS menyatakan dirinya mundur sebagai negara anggota, lembaga eksekutif hanya dapat melakukannya dengan persetujuan legislatif. Namun, aturan tata negara ini tidak diindahkan oleh Presiden Trump dalam keputusan eksekutif setara Instruksi Presiden.


Implikasi seketika


Dari sisi WHO, negara-negara anggota hanya diperbolehkan mengundurkan diri jika telah melunasi semua kontribusi tahunan wajib. Selain iuran wajib, ada bentuk iuran lain yang diberikan oleh negara-negara anggota kepada WHO, yaitu dalam bentuk bantuan pendanaan untuk program-program tertentu.


Hingga pengunduran dirinya, AS adalah negara dengan kontribusi terbesar bagi WHO. Tertulis dalam laporan bianium WHO, pada tahun 2024-2025, pemerintah AS memberikan kontribusi sebesar 6,5 miliar dollar AS.


Penarikan diri AS mempunyai implikasi seketika. Di markas besar WHO di Geneva, puluhan karyawan yang ditugaskan oleh CDC harus berhenti dari posisinya. Pertukaran data dan informasi di antara kedua lembaga dihentikan, komunikasi antara WHO dan CDC diputus.


Hal yang paling bombastis, pemberhentian sekitar 10.000 karyawan USAID dari kantor pusatnya di Washington, DC. Mereka dilarang memasuki gedung setelah menerima pemberitahuan pemecatan melalui surel pada malam sebelumnya. Tak hanya itu, nama USAID juga telah dihapus dari gedung.


Terkait dengan pengaturan kelembagaan, sepak terjang USAID selama puluhan tahun mengakibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil tumbuh di negara-negara tempat USAID berada. Setiap organisasi ini mempekerjakan puluhan hingga ribuan staf, peneliti dan ahli.


Pemutusan hubungan kerja seluruh staf di kantor pusat USAID juga berlaku untuk seluruh staf USAID di tiap negara, termasuk dari organisasi pelaksana program. Jika diakumulasikan, jumlahnya bisa mencapai sekitar 30.000 orang di seluruh dunia. Dampak ekonominya jelas akan memperparah kondisi dunia.


Dampak di Indonesia


Menilik sektor kesehatan di Indonesia, peran bantuan sumber daya AS cukup signifikan. Di antaranya, ketersediaan obat dan vaksin serta dalam skrining dan deteksi TBC, pemanfaatan teknologi digital kesehatan, kesehatan ibu anak, dan program berbasis masyarakat untuk bidan serta kader kesehatan.


Program yang cukup dikenal oleh masyarakat, seperti ”Bidan Delima”, ”suami siaga”, adalah dua dari sekian banyak dukungan USAID. Program lainnya, seperti Bebas-TB, Integrasi, CHISU, IWash, dan Mentari, adalah beberapa yang menyasar pemberantasan TBC, transformasi layanan kesehatan primer, dan penyediaan air bersih.


Kita dapat berargumen bahwa kapasitas ekonomi Indonesia sebagai negara G20 tidak layak lagi menyesali hilangnya dana bantuan AS. Namun, kenyataannya, ketergantungan kita masih cukup besar.


Desain anggaran kesehatan selalu memasukkan ketersediaan dana dari berbagai sumber di luar APBN, terutama untuk deteksi dini program tuberkulosis dan imunisasi. Dinamika tiga tahun terakhir ini menunjukkan porsi pembiayaan alternatif yang lebih besar melalui pertukaran utang serta kerja sama dengan lembaga multilateral dan filantropi dalam forum dana perwalian multi-donor (MDTF).


Namun, dalam situasi saat ini, di mana anggaran kesehatan dipangkas hampir Rp 20 triliun, hilangnya pendanaan USAID untuk pembangunan kesehatan Indonesia jadi terasa signifikan. Biasanya, kekurangan APBN dapat ditutupi pembiayaan non-APBN, yang sebagian besar berasal dari dukungan pemerintah AS.


Tercatat dalam berbagai kanal informasi publik, pada 2023-2024 dana USAID untuk sektor kesehatan setidaknya mencapai sekitar 70 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,1 triliun. Angka ini belum termasuk yang disalurkan Pemerintah AS melalui MDTF Bank Dunia, sekitar 350 juta dollar AS.


Dampaknya dapat langsung terlihat pada potensi penurunan pencapaian target pembangunan kesehatan, termasuk program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo.


Pengurangan ketergantungan anggaran kesehatan terhadap APBN sejalan dengan amanat UU Kesehatan No 17/2023 dan Peraturan Pemerintah No 28/2024, di mana wajib belanja kesehatan atau mandatory spending telah dihapuskan.


Kepergian Pemerintah AS dari program kemanusiaan dan pembangunan global, termasuk dan terutama sektor kesehatan, adalah disrupsi tak terduga.


Sayangnya, bagi Indonesia, waktunya bersamaan dengan pemotongan APBN dan tahun pertama berlakunya ketiadaan mandatory spending. Dapat diprediksi, dampak dari triple burden ini bisa lebih cepat terlihat melalui peningkatan angka kesakitan dan bahkan kemiskinan.


Harus diakui bahwa kepergian Amerika Serikat dari ranah kemanusiaan dan pembangunan dunia dengan sangat terang-terangan merupakan pukulan besar bagi tata kelola pembangunan global.


Selama ini, dunia berpuas diri dengan peran AS yang dari tahun ke tahun semakin digdaya. Alih-alih mencari kesetaraan ”kepemilikan”, dunia membiarkan ruang terbuka lebar hanya bagi AS.


Dari etika tata kelola global, idealnya rencana perubahan fokus pemerintahan baru dari negara sebesar Amerika Serikat dapat disampaikan terbuka, dengan transisi bertahap. Dengan transparansi, negara lain dapat menyiapkan diri untuk menyusun paradigma baru tata kelola pembangunan dunia.


Memperkuat komitmen terhadap organisasi pembangunan multilateral; pembentukan aliansi yang kuat antara masyarakat sipil, filantropi, dan akademisi; serta pembentukan lembaga baru yang mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh AS; menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan bersama.


Bagi Indonesia, perbaikan tata kelola pemerintahan adalah jawabannya jika pemerintah serius dengan komitmen politiknya meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.


Hanya dengan masyarakat yang sehat dan tangguh, kapasitas sumber daya manusia yang kompetitif dapat tercapai. Beban penyakit yang kompleks dan beragam jelas membutuhkan berbagai cara untuk mengatasinya.


Seharusnya momentum ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk membangkitkan keterlibatan para ahli dari berbagai latar belakang. Asalkan semua pihak sepakat untuk menjalankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan antikorupsi untuk Indonesia yang sehat, adil, dan setara.


---

Ditulis oleh:

Diah S Saminarsih, CEO dan Pendiri CISDI; Harvard Affiliate; dan Lancet Commissioner pada Global Health Commission on People Centered Care for Universal Health Coverage


Artikel ini sebelumnya diterbitkan di Harian Kompas pada 14 Februari 2024. Diterbitkan kembali pada website ini untuk tujuan dokumentasi dan pendidikan.


Terbaru