Pandangan CISDI terhadap Konsensus ....

Thumbnail

Berita

Pandangan CISDI terhadap Konsensus Jenewa

CISDI Secretariat1 Nov 2020

Jakarta, 2 November 2020 – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) percaya pemenuhan hak kesehatan merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Akses universal ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi merupakan salah satu amanat Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus dipenuhi demi tercapainya hak kesehatan perempuan. Tanpanya, target pembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan bagi semua, serta kesetaraan gender tidak akan terwujud.

 

Indonesia sudah meratifikasi dua kesepakatan global yang menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan perempuan dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW). Keduanya merupakan manifestasi komitmen negara untuk hadir dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk hak atas kesehatan dalam mewujudkan tercapainya kesehatan masyarakat sebagai sebuah kesejahteraan fisik, mental, dan sosial secara lengkap, bukan hanya sekedar ketiadaan penyakit. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menetapkan kesehatan sebagai pemenuhan standar kesehatan tertinggi tanpa membedakan gender, ras, agama, keyakinan politik, kondisi ekonomi, atau sosial.

 

Namun demikian, tidak banyak yang mengetahui bahwa pada hari Kamis, 22 Oktober 2020, Pemerintah Indonesia bersama 31 perwakilan negara seperti Amerika Serikat, Brazil, Mesir, dan Uganda (atau 19% dari total negara anggota WHO) secara virtual menandatangani Konsensus Jenewa. Kesepakatan ini secara sekilas mempromosikan perlindungan hak terhadap kesehatan perempuan dan menjadikan keluarga sebagai pilar pendukung terhadap pencapaian kesehatan. Menilik lebih lanjut, deklarasi ini berupaya membatasi hak perempuan dalam memperoleh akses kesehatan seksual dan reproduktif secara menyeluruh, serta menentukan otoritas terhadap tubuh dan masa depan mereka melalui pelarangan aborsi sebagai salah satu bentuk layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang telah dijamin oleh SDGs, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan CEDAW.

 

“Saat ini, angka kematian ibu di Indonesia masih tertinggi di ASEAN, yaitu 305/100.000 kelahiran (Riskesdas, 2018). Aborsi yang tidak aman menjadi salah satu alasan tingginya angka kematian ibu akibat dari kehamilan yang tidak diinginkan, serta kurangnya akses dan informasi ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Negara-negara lain di Asia Tenggara termasuk Malaysia, Singapura dan Thailand sepakat bahwa hak perempuan untuk mendapatkan akses ke aborsi yang aman sebagai salah satu bentuk layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, CEDAW, dan SDGs. Posisi WHO saat ini mendukung penuh rekomendasi CEDAW untuk menyediakan akses kesehatan seksual dan reproduksi tanpa diskriminasi yang mensyaratkan peran penuh pemerintah untuk membangun lingkungan pembisa (enabling environment) dan masyarakat sipil sebagai pemangku kepentingan penting pembangunan. Kondisi pandemi saat ini juga menyebabkan kekerasan seksual, kekerasan domestik dan kekerasan berbasis jender menjadi jauh lebih besar dari sebelumnya. Karenanya, akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi harus terbuka seluas-luasnya untuk semua, terutama kelompok rentan,” ujar Diah Saminarsih, Senior Advisor on Gender and Youth to the WHO DG.

 

Rekomendasi CEDAW No. 24: Artikel 12 memperbolehkan aborsi dalam situasi tertentu seperti kasus perkosaan, inses, ancaman atas nyawa dan/atau kesehatan ibu, atau adanya gangguan yang parah pada janin. Dunia internasional termasuk Indonesia sudah sepakat dalam memberikan akses kepada perempuan untuk mendapatkan layanan pasca aborsi yang berkualitas, terutama dalam kasus komplikasi yang menyebabkan adanya aborsi tidak aman. CEDAW juga merekomendasikan negara anggota untuk menghilangkan penghukuman kepada perempuan yang melakukan aborsi. Langkah pemerintah menyepakati Konsensus Jenewa adalah tindakan yang kontraproduktif terhadap CEDAW, Deklarasi Universal HAM, dan SDGs.

 

Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI, menambahkan, “Saat ini posisi Indonesia dianggap lemah dalam pemenuhan HAM. Selain kegagalan pemerintah dalam penanganan Covid-19, posisi Indonesia yang menyetujui Konsensus Jenewa berpotensi menjadi catatan kelam atas lemahnya penegakan hak atas kesehatan, khususnya bagi perempuan di Indonesia. CISDI mendorong pemerintah untuk mengkaji lebih lanjut dan mendengarkan bukti-bukti ilmiah dan kebutuhan kelompok perempuan, serta terbuka untuk berdialog dengan perwakilan masyarakat sipil yang bergerak langsung di bidang kesehatan seksual dan reproduksi demi terwujudnya kesehatan bagi semua.”


Terbaru