
Opini
Tantangan Berat Menurunkan Angka Perokok Anak
CISDI Secretariat • 16 Mei 2024
Memasuki tahun akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN periode 2020-2024, upaya menurunkan angka perokok anak di Indonesia masih menghadapi tantangan berat. RPJMN menargetkan penurunan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen pada 2018 menjadi 8,7 persen pada 2024.
Kendati data terbaru Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) belum tersedia, survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 justru menyatakan prevalensi perokok anak di Indonesia mencapai 19,2 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi konsumsi tembakau global pada kelompok umur yang sama di angka 6 persen menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Terjalnya jalan menurunkan angka perokok anak disebabkan berbagai alasan. Misalnya, harga rokok yang terjangkau memudahkan akses masyarakat terhadapnya. Berdasarkan perhitungan relative income price dalam penelitian terbaru kami yang berjudul The Impacts of Cigarette Prices on Adult Smoking Cessation in Indonesia, rokok di Indonesia pada 2021 lebih terjangkau 3,6 kali lipat dibandingkan dengan 1998.
Faktor lain yang tak kalah penting adalah ketersediaan rokok batangan di tengah masyarakat. Masyarakat punya pilihan untuk beralih ke rokok batangan ketika terjadi peningkatan harga rokok kemasan.
Ironisnya, ketika 87 negara di dunia melarang penjualan tembakau eceran, Indonesia justru menjadi salah satu dari segelintir negara Asia Tenggara yang masih melanggengkan peredaran rokok batangan. Bahkan, sekitar 74 persen pedagang kaki lima dan toko kelontong di negeri ini melaporkan menjual rokok eceran.
Riset terbaru kami lainnya yang berjudul Loose Cigarette Purchase and Adolescent Smoking in Indonesia: A Mixed-methods Study dan menggunakan data GYTS 2019 menunjukkan lebih dari setengah perokok aktif berusia di bawah 18 tahun memilih membeli rokok batangan daripada rokok dalam bentuk lain, seperti bungkusan, karton, atau linting.
Tak heran, tren pembelian rokok batangan di kalangan pelajar meningkat dari 11 persen pada 2014 menjadi 13 persen lima tahun kemudian.
Penelitian kami menerangkan hubungan signifikan antara pembelian rokok batangan dan eksperimentasi merokok pada anak usia 11-17 tahun. Hal ini ditandai oleh frekuensi merokok yang tidak teratur, intensitas merokok kurang dari lima batang per hari, serta ketergantungan nikotin yang rendah dibandingkan dengan kelompok yang membeli rokok jenis lain.
Berbeda dengan perokok dewasa yang mempunyai pola merokok yang relatif stabil, anak remaja dalam fase eksperimen berisiko besar ”naik kelas” menjadi perokok harian. Proses ini biasanya terjadi dalam kurun waktu tiga tahun setelah mereka mengonsumsi rokok pertama.
Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia 2021 juga menunjukkan peran rokok batangan pada tahap awal merokok. Pada populasi yang lebih muda, konsumsi rokok batangan terlihat mendominasi dan tren ini menurun seiring bertambahnya usia.
Sebaliknya, konsumsi rokok bungkusan cenderung meningkat seiring meningkatnya jumlah hari merokok pada populasi yang lebih tua.
Temuan ini diperkuat dengan hasil diskusi kelompok terarah yang melibatkan 49 siswa-siswi dua sekolah menengah pertama (SMP) dan satu sekolah menengah atas (SMA) di Jakarta Selatan yang dipilih secara acak tahun lalu. Jakarta Selatan dipilih karena memiliki prevalensi merokok remaja tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Provinsi DKI Jakarta.
Hasilnya, sebagian besar partisipan mengaku membeli rokok batangan ketimbang jenis rokok lain saat mencoba rokok untuk pertama kali. Sebanyak 57 persen responden mulai merokok sejak duduk di bangku SD dan banyak yang masih aktif merokok saat mengikuti diskusi kelompok terarah.
Partisipan memilih rokok batangan karena gampang diperoleh di pedagang kaki lima, warung, dan toko-toko kelontong.
Akses yang mudah ini mendorong partisipan membeli rokok batangan berulang kali hingga menghabiskan uang saku Rp 30.000 hingga Rp 200.000 per minggu. Jumlah ini setara dengan separuh dari pengeluaran per kapita mingguan rata-rata penduduk Indonesia pada Maret 2023 berdasarkan data Badan Pusat Statistik.
Pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih tegas, lugas, dan komprehensif untuk mencegah peningkatan perokok usia muda. Berbagai studi telah menunjukkan konsumsi produk tembakau pada anak memiliki konsekuensi jangka panjang dari segi kesehatan, ekonomi, ataupun sosial. Karena itu, konsumsi rokok pada anak perlu ditekan.
Akses terhadap rokok dapat dipersempit melalui kebijakan fiskal. Pemerintah bisa menaikkan cukai rokok hingga 25 persen dan menyederhanakan tarif cukai hasil tembakau menjadi hanya dua lapisan, yaitu sigaret mesin dan sigaret tangan, sesuai dengan rekomendasi WHO. Studi WHO juga membuktikan kenaikan cukai rokok yang signifikan mampu menurunkan jumlah konsumsi rokok.
Langkah pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau menggunakan sistem multiyears pada 2023 dan 2024 patut diapresiasi. Namun, tarif yang ada sekarang belum efektif untuk menekan laju konsumsi tembakau. Kenaikan cukai yang lebih tinggi masih dibutuhkan untuk meningkatkan kenaikan harga jual rokok di pasaran secara signifikan.
Upaya lain yang tak kalah penting adalah melarang penjualan rokok eceran. Pelarangan penjualan rokok batangan di toko-toko kelontong dan warung kecil dapat menurunkan prevalensi perokok anak.
Implementasi kebijakan ini juga perlu diikuti dengan penegakan aturan, seperti pengawasan rutin dan sanksi tegas terhadap pelanggar.
Dari perspektif regulasi kesehatan, pemerintah perlu memastikan aturan pengendalian produk tembakau yang kuat dan komprehensif, seperti larangan iklan rokok dan penjualan rokok batangan, dimuat dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang saat ini sedang digodok.
Dengan memasukkan pasal-pasal pengendalian produk tembakau dalam aturan turunan Undang-Undang Kesehatan tersebut, pemerintah menunjukkan komitmen melindungi generasi muda dari dampak buruk rokok. Target menurunkan prevalensi perokok anak pun tak mustahil digapai.
---
Ditulis oleh:
Gea Melinda, Senior Research Officer for Tobacco Control, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)
Artikel ini sebelumnya diterbitkan di Harian Kompas pada 16 Mei 2024. Diterbitkan kembali pada website ini untuk tujuan dokumentasi dan pendidikan.