Thumbnail
Siaran Pers

CISDI: Penerapan Cukai 20% untuk Minuman Berpemanis dalam Kemasan Efektif Tingkatkan Kesehatan Masyarakat

CISDI Secretariat • 30 Mar 2022

Jakarta, 31 Maret 2022 - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) meluncurkan ringkasan kebijakan Urgensi Implementasi Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia pada Kamis (31/3).


Melalui ringkasan ini, CISDI menekankan dua poin penting. Pertama, rekomendasi penerapan cukai MBDK berdasarkan kandungan gula dengan tarif 20% dari harga. Kedua, komitmen politik dan publik di berbagai level untuk merealisasikan penerapan cukai MBDK di Indonesia.


Abdillah Ahsan, peneliti Universitas Indonesia dan pakar advokasi CISDI, menyebut,

“Kami merekomendasikan pemerintah segera menerapkan cukai MBDK pada semua produk tanpa kecuali dan serentak, meliputi semua minuman berpemanis dalam bentuk gula asli maupun tambahan pangan. Tarif cukai terbaik adalah minimum 20% dari harga produk MBDK dan diterapkan secara multi-layer berdasarkan kandungan pemanisnya.”


Rekomendasi penerapan cukai MBDK ini berakar dari meningkatnya konsumsi produk MBDK di Indonesia sebanyak 15 kali lipat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Tingginya konsumsi MBDK berkontribusi pada naiknya angka risiko obesitas dan penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, serta beberapa jenis kanker.


Jika tidak ditangani serius, ini akan menyebabkan beban kesakitan dan kematian akibat PTM di masa depan semakin meningkat. Gita Kusnadi, Plt. Manajer Riset CISDI, menyebut bahwa saat ini tujuh dari sepuluh penyebab kematian di Indonesia disebabkan karena PTM, dengan diabetes menempati posisi ketiga.


“Diabetes saat ini sudah diderita oleh 19,5 juta penduduk Indonesia, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 28,5 juta penderita pada tahun 2045. Karena itu, laju kenaikan prevalensinya perlu segera ditekan, salah satu caranya melalui implementasi cukai MBDK,” jelas Gita.


Selain itu, Gita juga menekankan bahwa upaya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait bahaya konsumsi gula berlebihan saja tidak cukup.

“Perubahan perilaku di masyarakat tidak bisa dicapai melalui usaha promotif saja, diperlukan kebijakan dan intervensi lain yang lebih kuat untuk melengkapi upaya tersebut,” tambahnya.


Kesimpulan yang sama dengan Gita, dikemukakan Diah Satyani Saminarsih, Penasihat Senior bidang Gender dan Pemuda untuk Dirjen WHO dan Pendiri CISDI. Menurut Diah, kebijakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu harmonis dengan dukungan kebijakan non-kesehatan.


“Komitmen mengurangi beban kesehatan akibat penyakit tidak menular, seperti obesitas dan diabetes, juga harus didukung kebijakan mengendalikan faktor risiko, seperti konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL). Oleh karena itu, penerapan cukai MBDK bukan hanya pilihan yang tepat, namun juga sangat dianjurkan WHO,” pungkas Diah.


Senada dengan Diah, dr Ackhmad Afflazir, MKM, Ketua Tim Kerja Pembiayaan Kesehatan, Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK), Kementerian Kesehatan RI, menyebut angka PTM di Indonesia sudah pasti mempengaruhi pembiayaan kesehatan nasional sehingga ia menegaskan pentingnya penerapan cukai MBDK.


“Akar masalah harus diselesaikan lebih dahulu, yaitu pengendalian konsumsi makanan dan minuman tinggi GGL. Dalam hal ini, cukai MBDK dapat dilihat sebagai cara efektif mengendalikan konsumsi minuman manis masyarakat,” ungkap dr. Ackhmad.


Cukai MBDK merupakan kebijakan fiskal yang terbukti efektif menurunkan konsumsi produk berdampak buruk dan telah diadopsi di lebih dari 40 negara di dunia. Penurunan konsumsi ini akan membantu mengendalikan angka obesitas dan diabetes serta mendukung percepatan pencapaian target Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2021-2024. Sebagian dari penerimaan cukai MBDK juga bisa digunakan untuk kepentingan publik, terutama terkait kesehatan, sehingga pemanfaatannya bisa dirasakan masyarakat luas.


Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menekankan bahwa penerapan cukai di Indonesia menegaskan komitmen pemerintah dalam memenuhi hak perlindungan kesehatan masyarakat. Penerapan kebijakan ini mengurangi pemasaran MBDK yang sejalan dengan kampanye Kementerian Kesehatan terkait pengurangan konsumsi GGL.


“Selain melindungi masyarakat, penerapan cukai dapat mengendalikan defisit finansial kesehatan dari penyakit akibat pola konsumsi MBDK di tengah masyarakat. Upaya ini harus kita dorong bersama-sama sebagai instrumen untuk mewujudkan kesehatan masyarakat yang hakiki,” tegas Tulus.

Terbaru