Thumbnail
Siaran Pers

400 Anak Muda Dorong Pemerintah Terapkan Cukai Minuman Manis dalam Kemasan, Ajak Aktor Pembangunan Lain Ikut Bekerja Sama

CISDI Secretariat • 5 Okt 2022

Jakarta, 17 September 2022 – Ratusan anak muda mendorong pemerintah menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Suara dan pendapat mereka sangat penting penting karena industri MBDK menarget mereka sebagai konsumen tetap. 


“Belum ada regulasi terkait iklan, promosi, dan sponsor MBDK. Ini membuat pemasaran MBDK selalu dikemas sangat menarik bagi anak-anak muda. Akibatnya, jumlah konsumen terus meningkat dan menciptakan kesan MBDK adalah produk yang normal dan baik-baik saja,” tutur Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dalam acara Forum for Young Indonesians (FYI), Kedasi, Jakarta Pusat, pada Sabtu (9/17). 


FYI merupakan kegiatan publik bagi anak muda untuk membahas persoalan kesehatan dan pembangunan. Pertama kali diselenggarakan pada 2017, tahun ini FYI hadir kembali dengan tajuk Dunia Tipu-Tipu Minuman Berpemanis dalam Kemasan. Tujuan acara ini adalah untuk mendorong komitmen Kementerian Keuangan mengenakan cukai pada produk MBDK. Pesertanya 400 anak muda rentang usia 17-30 tahun.


“Anak-anak muda Indonesia, seperti di daerah tempat tinggal saya, masih belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai persoalan MBDK. Bahkan, banyak yang belum mengetahui berapa idealnya jumlah konsumsi gula setiap harinya. Karena itu, menurut saya, edukasi kesehatan kepada anak muda bisa dimulai dengan edukasi konsumsi gula harian,” tutur Desi Rahmawaty, perwakilan komunitas Simpul Remaja yang beroperasi di Maluku, Provinsi Maluku. 


Senada dengan pernyataan Desi, CISDI menemukan satu studi yang menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia terpapar promosi iklan minuman tidak sehat di televisi, mayoritas MBDK, setiap 4 menit sekali. Temuan lain menyebut 1 dari 10 anak Indonesia (14,7%) mengkonsumsi satu jenis MBDK, minuman berkarbonasi (soft drinks) sebanyak satu hingga enam kali per minggunya. Sementara, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan prevalensi diabetes melitus pada kelompok umur 15-24 tahun tidak kunjung berkurang, tetap di angka 0,1% pada 2013 dan 2018.


“Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan adalah salah satu faktor risiko yang meningkatkan prevalensi obesitas dan penyakit tidak menular di Indonesia, termasuk terhadap anak-anak muda,” tutur Olivia kembali. 


Dalam FYI tahun ini, CISDI mengajak anak muda mendorong pemerintah membuat kebijakan yang melindungi kesehatan masyarakat. Salah satunya melalui penandatanganan petisi daring yang mendesak pemerintah memberlakukan cukai produk MBDK sebesar 20 persen. Hingga Sabtu (17/9) lebih dari seribu orang telah menandatangani petisi ini.


Selain petisi, CISDI juga mendorong adanya representasi multi-stakeholder dan anak muda dalam proses regulasi cukai MBDK dengan mendatangkan 30 anak muda dari 16 organisasi untuk menghadiri FYI dan mengikuti pelatihan advokasi kebijakan.


“Kami akan melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran bahaya konsumsi MBDK di wilayah tinggal kami sebagai bentuk tindak lanjut pelatihan ini. Namun, sinergitas dengan pemerintah daerah bersama lembaga masyarakat lain juga sangat dibutuhkan agar persoalan MBDK juga semakin disadari publik luas,” ungkap Desi kembali. 


Dukungan publik terhadap upaya pengenaan cukai sebenarnya sangat kuat. Survei daring CISDI terhadap 2.605 responden menemukan setidaknya 78% responden merasa minuman berpemanis memenuhi kriteria barang kena cukai. Riset yang sama menunjukan 80% responden atau setara 8 dari 10 orang sepenuhnya mendukung rencana pemerintah untuk mengenakan cukai pada setiap produk MBDK.


Sementara, 85% responden mengaku akan mengurangi konsumsi MBDK jika pengenaan cukai mencapai 20%. “Kehadiran data ini seharusnya memberikan dukungan bagi pemerintah untuk segera menerapkan cukai,” ungkap Olivia kembali. 


Anggapan cukai MBDK mengganggu pemulihan ekonomi, berdampak pada kenaikan harga bahan pokok, serta tidak efektif mengurangi konsumsi pun tidak tepat. Bahkan, dana yang terkumpul dari pengenaan cukai juga dapat bermanfaat bagi sektor-sektor lain, seperti untuk menambah pembiayaan upaya promosi kesehatan di Indonesia. 


“Instrumen cukai bersifat cost effective (hemat biaya). Ia mampu menjalankan fungsi edukasi, pengendalian konsumsi, sekaligus berpotensi menambah pemasukan negara sehingga tidak menimbulkan banyak kerugian,” tutup Olivia.



-SELESAI -


Tentang CISDI

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah lembaga non-profit yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata. Melalui program Food Policy, CISDI turut serta dalam pencegahan penyakit tidak menular. Program ini bertujuan menerapkan cukai minuman berpemanis yang berkaitan erat dengan kemunculan diabetes dan obesitas, dua penyakit mematikan di Indonesia, melalui metode riset ilmiah, advokasi kepada pembuat kebijakan, pelibatan komunitas dan anak muda, serta meningkatkan kesadaran gaya hidup sehat melalui beragam kegiatan kampanye.


Informasi lebih lanjut

Ardiani Hanifa Audwina

Content & Media Officer

+62 821 2177 8668

Email: communication@cisdi.org

www.cisdi.org


Terbaru