Lompat ke konten utama
Logo CISDI: Simbol kolaborasi tiga pilar strategis—riset, advokasi, dan peningkatan kapasitas—untuk kemajuan kesehatan Indonesia.
Thumbnail

Siaran Pers

Bikin Harga Rokok Terjangkau, Cukai Murah Sigaret Kretek Tangan Harus Dihentikan

CISDI Secretariat • 15 Sep 2025

Jakarta, 16 September 2025 - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) merilis Lembar Kebijakan Jalan Menuju Reformasi Cukai. Melalui lembar kebijakan ini, CISDI mendesak pemerintah segera mengakhiri perlakuan istimewa berupa pemberian tarif cukai murah terhadap produk sigaret kretek tangan (SKT).


Dalam kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) terdapat tiga jenis rokok, yaitu sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesin (SKM), dan sigaret kretek tangan. Dari ketiga jenis rokok tersebut, hanya SKT yang diberi aturan kenaikan tarif berbeda berupa kenaikan tidak lebih dari lima persen. Sigaret kretek tangan merupakan golongan rokok yang dilinting dengan tenaga manusia.


Lembar Kebijakan Jalan Menuju Reformasi Cukai CISDI menunjukkan konsumsi SKT berdampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan maupun ekonomi negara. Dari segi kesehatan, SKT mengandung saus (campuran bahan) yang menjadi perisa tambahan dan komposisinya dirahasiakan sehingga bahaya SKT sulit diketahui. 


Bahan eugenol pada SKT menutupi sensasi kasar asap rokok ketika memasuki saluran napas. Hal ini membuat rokok kretek lebih mudah diterima oleh perokok pemula untuk memulai maupun lanjut merokok. Tak heran, walau populer di pasar global, banyak negara melarang penjualan SKT untuk melindungi kesehatan publik.


Research Associate CISDI Gea Melinda mengungkapkan SKT lebih membahayakan kesehatan dibanding rokok jenis lain.


“Kadar nikotin dan tar dalam SKT jauh lebih tinggi dibanding SPM dan SKM. Dampaknya, risiko perokoknya terkena berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, juga semakin besar. Membiarkan SKT tetap murah sama artinya membiarkan masyarakat, khususnya kelompok miskin dan anak muda, lebih mudah terjerat adiksi rokok dan terpapar risiko kesehatan yang tinggi,” tegas Gea.


Sejumlah riset membuktikan harga terjangkau produk tembakau memicu downtrading atau peralihan konsumsi ke rokok lebih murah. Downtrading melemahkan efektivitas kebijakan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi tembakau, sekaligus menyebabkan realisasi penerimaan dari CHT berkurang. 


Chief Research and Policy CISDI Olivia Herlinda menilai alasan pemerintah memberikan tarif khusus untuk produk SKT demi melindungi pekerja juga tidak tepat. “Perlakuan istimewa terhadap SKT untuk melindungi pekerja hanyalah ilusi. Menurut data yang kami peroleh, sebagian besar rumah tangga pekerja SKT dan petani cengkeh hidup di bawah garis kemiskinan, dengan risiko kesehatan dan risiko kerja yang sangat tinggi,” ujarnya.


Laporan Bank Dunia tahun 2017 menunjukkan kondisi kerja para buruh linting SKT sangat rentan. Hanya sedikit dari mereka yang berstatus penuh waktu dengan kontrak tertulis. Laporan tersebut juga menunjukkan rumah tangga yang bergantung sepenuhnya pada pekerjaan untuk produksi SKT justru berpendapatan lebih rendah dibanding mereka yang memiliki sumber penghasilan lain.


“Jika pemerintah terus mempertahankan rokok golongan SKT tetap murah, artinya negara memilih melanggengkan adiksi produk berbahaya dan memperdalam kemiskinan. Reformasi cukai rokok 2026 perlu menjadi momentum penting untuk menyehatkan bangsa sekaligus memperkuat ekonomi yang berkeadilan,” pungkas Olivia.


Selain urgensi reformasi kebijakan CHT, Lembar Kebijakan CISDI ini menyebutkan transisi pekerja untuk keluar dari sektor tembakau sangat memungkinkan. “Berdasarkan studi Bank Dunia tahun 2017, negara hanya memerlukan 0,1 persen atau Rp 14,3 miliar dari pemasukan tambahan dari cukai rokok untuk membiayai pendapatan pekerja SKT yang hilang selama masa transisi. Hal ini karena tambahan pemasukan tahunan negara dari cukai tembakau berpotensi mencapai Rp 10,9 triliun dari simulasi model penyederhanaan dan kenaikan tarif cukai yang dilakukan oleh Bank Dunia,” tutup Gea. 


Karenanya, dalam mendukung pemerintah untuk tidak lagi menerapkan tarif cukai rendah terhadap produk SKT, CISDI merekomendasikan sejumlah langkah kebijakan berikut:

1.Menyederhanakan struktur tarif CHT secara bertahap:

  • Tahun pertama, menyederhanakan SKT menjadi dua golongan tarif.
  • Tahap berikutnya, menggabungkan rokok putih maupun rokok kretek yang dibuat dengan mesin dalam satu golongan.
  • Selanjutnya, memastikan hanya ada dua golongan tarif: rokok buatan tangan dan rokok buatan mesin.
  • Tahap akhir, seluruh produk tembakau dikenakan satu tarif tunggal sesuai rekomendasi WHO.

2.Menaikkan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) untuk semua jenis rokok secara signifikan, dengan mempertimbangkan keterjangkauan serta memberi kenaikan lebih besar pada produk yang saat ini masih murah.

3.Menyusun strategi transisi bagi sektor terdampak, khususnya pekerja linting dan petani cengkeh, melalui pelatihan, modal usaha, diversifikasi komoditas, dan dukungan sosial.

4.Membentuk kolaborasi lintas sektor dengan memfasilitasi proses transisi dengan dukungan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), pajak rokok daerah, serta penerimaan tambahan dari kenaikan tarif cukai.


-SELESAI-


Tentang CISDI

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah organisasi nirlaba yang bertujuan memajukan pembangunan sektor kesehatan dan penguatan sistem kesehatan melalui kebijakan berbasis dampak, riset, advokasi dan intervensi.


Informasi lebih lanjut:

Hanindito Arief Buwono

Media Officer

0811-1085-407

Email: [email protected]

www.cisdi.org


Terbaru

  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===