
Siaran Pers
Kepada Menkeu Purbaya: Cukai Rokok untuk Pengendalian Konsumsi, Sudah Saatnya Memahalkan Harga Rokok
Anandya Khairunnisa • 22 Sep 2025
Jakarta, 23 September 2025 – Koalisi Pengendalian Tembakau menyoroti langkah pemerintah yang belakangan ini lebih gencar menaikkan pajak kebutuhan dasar masyarakat, seperti PPN dan PBB, untuk menambah pemasukan negara. Padahal, terdapat opsi lain yang lebih adil dan efektif bagi masyarakat, yakni melalui peningkatan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). Kenaikan harga melalui cukai, seharusnya dilakukan agar rokok sebagai produk berbahaya tidak lagi mudah dijangkau. Pengenaan cukai yang tinggi pada rokok akan menekan konsumsi produk yang setiap tahun merenggut 300 ribu nyawa di Indonesia ini.
Sayangnya, CHT yang seharusnya menjadi instrumen fiskal paling efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok justru tidak mengalami kenaikan pada 2025. Keputusan ini akan berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan ekonomi negara. Berbagai bukti global, riset, dan proyeksi menunjukkan kenaikan CHT berdampak positif terhadap kesehatan maupun perekonomian.
Diah Saminarsih, CEO & Founder Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), menegaskan tidak naiknya tarif cukai tidak hanya mengurangi potensi penerimaan negara, tetapi juga berdampak serius bagi produktivitas dan kesehatan masyarakat. “Sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, pemerintah perlu mengenakan cukai pada rokok karena sifatnya yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat sehingga konsumsinya perlu dikendalikan. Pada 2019, ketika tarif cukai tidak naik, CISDI menghitung biaya ekonomi akibat merokok mencapai Rp 410 triliun, atau 2,59 persen PDB Indonesia, akibat meningkatnya biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas masyarakat. Bahkan penerimaan cukai rokok saat itu tidak mampu menutupi biaya kesehatan tersebut,” jelas Diah.
Dukungan masyarakat terhadap kebijakan ini sangat kuat. Survei publik Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) tahun 2018 menunjukkan mayoritas responden mendukung kenaikan harga rokok. Responden survei itu juga menyatakan tidak akan membeli rokok jika harganya mencapai Rp70.000 per bungkus. Survei tersebut juga menyoroti ketersediaan beragam produk rokok murah mendorong kalangan pra-sejahtera, kelas menengah rentan, dan usia muda, untuk beralih konsumsi ketika terjadi kenaikan harga rokok yang signifikan.
Aryana Satrya, Ketua PKJS-UI, menekankan, “Selama rokok tetap terjangkau dan terdapat variasi harga murah, produktivitas bangsa dan daya saing ekonomi terancam menurun. Karena itu, kenaikan tarif dan penyederhanaan struktur cukai untuk memahalkan harga jual rokok merupakan langkah mendesak untuk melindungi kesehatan masyarakat.”
Rokok murah yang saat ini membanjiri pasar disebabkan kenaikan tarif cukai yang kurang signifikan. Padahal, peningkatan cukai yang lebih substansial dapat membawa dampak positif di berbagai aspek. Studi CISDI (2024) menunjukkan kenaikan tarif cukai sebesar 45 persen berpotensi menurunkan konsumsi rokok kretek (campuran tembakau dan cengkeh) hingga 27,7 persen dan rokok putih (tembakau murni) sebesar 19,5 persen, sekaligus menambah penerimaan negara hingga Rp 7,92 triliun dan menciptakan lebih dari 148 ribu lapangan kerja.
Selain dampak terhadap ekonomi, isu rokok ilegal yang kerap dijadikan alasan untuk menahan kenaikan cukai pun tidak didukung bukti ilmiah. Diah menegaskan, “Kenaikan cukai bukan penyebab utama maraknya rokok ilegal. Survei CISDI di enam kota menunjukkan faktor rantai pasok lokal dan lemahnya penegakan hukum yang lebih berperan mendorong peredaran rokok ilegal.”
Koalisi menilai urgensi menaikkan tarif cukai secara signifikan tidak bisa diperdebatkan lagi. “Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit, kami mendorong pemerintah melalui Kementerian Keuangan berpihak pada rakyat. Mengutamakan kepentingan industri rokok berarti mengorbankan kesehatan masyarakat demi keuntungan jangka pendek. Dengan memahalkan harga rokok, masyarakat dapat terhindar dari penyakit dan lebih tangguh secara finansial,” tutup Aryana.
Oleh karenanya, Koalisi Pengendalian Tembakau meminta Menteri Keuangan menaikkan tarif CHT dan Harga Jual Eceran (HJE) secara signifikan, dengan mempertimbangkan keterjangkauan, penerapan tahun jamak, serta penyederhanaan golongan tarif bertahap, sebagaimana telah dimandatkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
-SELESAI -
Tentang Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)
Organisasi non-profit yang bertujuan memajukan pembangunan sektor Kesehatan dan penguatan sistem Kesehatan melalui kebijakan berbasis dampak, riset, advokasi dan intervensi inovatif yang inklusif dan partisipatif.
Kontak:
Anandya Khairunnisa (Advocacy officer for tobacco control)
Email: [email protected]
Tentang Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (PKJS-UI)
Institusi yang bergerak pada pelatihan, konsultasi, dan penelitian seputar Jaminan Sosial secara luas termasuk menangani isu ekonomi dan kesehatan, untuk berkontribusi pada kesejahteraan rakyat.
Kontak:
[email protected] / [email protected]
Website: https://pkjsui.org/
Email: [email protected]
Facebook: Kajian Jaminan Sosial UI / https://www.facebook.com/kajian.j.ui
Instagram: @pkjs_ui
.png)