Lompat ke konten utama
Logo CISDI: Simbol kolaborasi tiga pilar strategis—riset, advokasi, dan peningkatan kapasitas—untuk kemajuan kesehatan Indonesia.
Thumbnail

Siaran Pers

Tolak Usulan Moratorium Kenaikan Cukai Rokok, Koalisi: Jangan Korbankan Masyarakat Demi Keuntungan Industri

Anandya Khairunnisa • 29 Juli 2025

Jakarta, 30 Juli 2025 – CISDI, PKJS-UI, dan Komnas Pengendalian Tembakau mewakili Koalisi Pengendalian Tembakau menolak keras usulan moratorium atau penundaan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan yang ramai diusulkan para pelaku industri tembakau. Koalisi menilai pandangan yang menitikberatkan pada kepentingan keberlanjutan industri, melemahkan perlindungan petani dan tenaga kerja, serta mendorong rokok ilegal ini, tidak berdasar dan cenderung mengada-ada. Usulan moratorium ini juga tidak berbasis bukti dan tidak mempertimbangkan aspek kesehatan masyarakat yang dampaknya justru besar dan luas untuk publik.


Berbagai studi menunjukkan, cukai terbukti sebagai instrumen yang paling efektif dalam pengendalian konsumsi rokok. Moratorium kenaikan cukai justru mempermudah akses masyarakat terhadap produk tembakau, terutama pada anak dan kalangan rentan dan bertentangan dengan prioritas pembangunan sumber daya manusia dalam RPJMN 2025 - 2029.


“Usulan pelaku industri tembakau ini mengabaikan tujuan utama cukai, yaitu untuk menekan konsumsi produk berbahaya demi perlindungan kesehatan masyarakat. Moratorium kenaikan cukai adalah usulan yang tidak masuk akal dan justru mengabaikan pilar pengendalian konsumsi dalam kebijakan cukai hasil tembakau yang dijalankan Kementerian Keuangan,” kata Dr. Hermawan Saputra, SKM. Mars Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, Ketua Bidang Kebijakan dan Advokasi Pemerintah, pada Rabu, 30 Juli 2025.


Beladenta Amalia selaku Project Lead for Tobacco Control CISDI menambahkan, kebijakan cukai yang progresif berdampak positif bagi ekonomi dan kesehatan. “Riset CISDI pada 2021 menunjukkan kenaikan cukai sebesar 30 persen dapat menambah pendapatan negara hingga Rp 5 triliun. Pendapatan dari cukai rokok ini bisa dimanfaatkan oleh daerah penghasil tembakau dan rokok untuk membantu pekerja sektor tembakau beralih ke pekerjaan yang lebih layak dan industri yang tidak membahayakan masyarakat,” ujarnya.


Perihal argumen yang kerap disampaikan industri soal maraknya rokok ilegal, Bela menyangkalnya dengan mengutip hasil riset CISDI tentang peredaran rokok ilegal di enam kota. “Hasil survei kami di enam kota besar menunjukkan prevalensi konsumsi rokok ilegal sangat bervariasi antar kota. Artinya, peredaran rokok ilegal utamanya bukan dipengaruhi kenaikan cukai, melainkan faktor rantai pasok yang tidak diawasi dengan tegas. Jadi, argumen industri bukan alasan valid untuk menghentikan kebijakan cukai yang berbasis kesehatan,” tutur Bela.


Koalisi juga menilai alasan industri tentang dampak negatif cukai terhadap nasib petani tembakau keliru. “Riset PKJS-UI tahun 2020 tentang petani tembakau di Lombok Tengah, Pamekasan, dan Kendal menunjukkan, petani terjebak dalam tata niaga yang timpang sehingga tidak memiliki daya tawar maupun menentukan kategori kualitas dan harga tembakau yang diproduksi. Banyak petani mengeluhkan tata niaga tembakau yang sering merugikan mereka sebagai price taker,” kata Renny Nurhasanah, Program Manager PKJS-UI.


Menurut Renny, serapan tembakau petani mitra di perusahaan rokok sangat sedikit dan tidak menentu sehingga petani memiliki posisi tawar yang lemah karena khawatir tembakau tidak laku. Bermitra dengan perusahaan belum menjadi solusi yang efektif karena jumlah petani swadaya/mandiri sangat banyak, bahkan melebihi jumlah petani mitra. Sedangkan kuota perusahaan rokok menyerap tembakau petani terbatas.


Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2020 membuktikan klaim kontribusi industri terhadap lapangan kerja dan kesejahteraan petani menyesatkan dan dilebih-lebihkan. Dalam laporan yang sama disebutkan, sektor ini hanya menyumbang 0,6% tenaga kerja nasional, dengan jumlah buruh linting sekitar 300 ribu orang yang mayoritas merupakan buruh perempuan, tanpa kontrak, dan berpenghasilan rendah. 


Semestinya, menurut laporan Bank Dunia tahun 2018, buruh di sektor tembakau dapat dibantu untuk beralih ke sektor lain yang lebih berkelanjutan dengan cara diberikan pelatihan dan bantuan sosial lainnya, yang di mana dari segi biayanya hanya menghabiskan 2 persen pendapatan dari kenaikan tarif cukai hasil tembakau.


Petani tembakau hidup dalam kemiskinan, dengan pendapatan yang rendah dan ketergantungan pada industri yang menentukan harga dan volume pembelian. Ironisnya, industri lebih memilih tembakau impor daripada hasil petani lokal, sehingga semakin melemahkan daya saing dan keberlangsungan hidup petani. Kondisi yang tidak menentu tersebut membuat semakin banyak petani yang beralih ke tanaman komoditas lain seperti padi, jagung, dan cabai karena terbukti lebih menguntungkan dan stabil.


Dr. Hermawan menambahkan, usulan moratorium cukai hanyalah agenda industri untuk menjaga laba mereka. Selama ini, upaya pemerintah untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia melalui instrumen fiskal cukai cenderung masih banyak keraguan dan menunjukkan rasa ‘takut’ pada industri. “Demi melindungi masyarakat, kebijakan cukai rokok justru harus diperkuat dengan kenaikan tarif cukai yang signifikan dan berkesinambungan, jangan malah moratorium!” tegasnya. 


Dengan mempertimbangkan kesehatan masyarakat, ekonomi, dan keberlanjutan kebijakan, Koalisi Pengendalian Tembakau mendesak pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, untuk:


  1. Menolak tegas usulan moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau oleh pelaku industri tembakau.
  2. Melanjutkan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau secara progresif, terukur dengan memperhitungkan komponen lain seperti keterjangkauan, diterapkan multi tahun, disertai penyederhanaan golongan tarif, sesuai dengan mandat RPJMN 2025–2029.
  3. Menyiapkan strategi transisi (exit strategy) dan kebijakan diversifikasi ekonomi yang berkeadilan untuk sektor-sektor yang terdampak, terutama petani dan pekerja.


Koalisi Pengendalian Tembakau menolak segala kompromi yang mengutamakan kepentingan industri rokok karena moratorium cukai justru mengancam perlindungan generasi muda dan masa depan bangsa. Pemerintah perlu berpihak pada kepentingan publik dengan menjaga kebijakan cukai yang progresif, sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi kesehatan masyarakat, bukan sekadar keputusan fiskal yang tunduk pada tekanan industri.


-SELESAI-


Tentang Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)

Organisasi non-profit yang bertujuan memajukan pembangunan sektor Kesehatan dan penguatan sistem Kesehatan melalui kebijakan berbasis dampak, riset, advokasi dan intervensi inovatif yang inklusif dan partisipatif.


Kontak:

Anandya Khairunnisa (Advocacy officer for tobacco control)

Email: [email protected]

www.cisdi.org


Tentang Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (PKJS-UI)

Institusi yang bergerak pada pelatihan, konsultasi, dan penelitian seputar Jaminan Sosial secara luas termasuk menangani isu ekonomi dan kesehatan, untuk berkontribusi pada kesejahteraan rakyat.


Kontak:

[email protected] / [email protected]

Website: https://pkjsui.org/

Email: [email protected] 

Facebook: Kajian Jaminan Sosial UI / https://www.facebook.com/kajian.j.ui 

Instagram: @pkjs_ui


Tentang Komnas Pengendalian Tembakau

Organisasi koalisi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang penanggulangan masalah konsumsi produk tembakau, didirikan pada 27 Juli 1998 di Jakarta, beranggotakan 23 organisasi yang terdiri dari organisasi profesi kesehatan, organisasi masyarakat, dan kelompok yang peduli akan dampak buruk dan bahaya produk tembakau bagi kehidupan, khususnya bagi generasi muda dan keluarga miskin. 

Info: www.komnaspt.or.id


Terbaru

  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===