Feature
Kisah Ibu Karsinah, Dua Dekade Menjadi Kader Kesehatan Hingga Didapuk sebagai Duta Stunting
Tengku Raka • 28 Agu 2023
Usia paruh baya tak menghalangi Ibu Karsinah untuk terus mengabdi pada masyarakat. Dengan menjadi kader kesehatan, perempuan 50 tahun ini terus berkontribusi bagi kesehatan warga sekitarnya di Kelurahan Duren Mekar, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Selain aktif sebagai kader di posyandu dan PKK di kelurahan tempat ia tinggal, Ibu Karsinah juga menjadi kader PRIMA–Kader PRIMA adalah sebutan untuk kader kesehatan yang terlibat dalam implementasi PN-PRIMA, program besutan CISDI untuk memperkuat puskesmas.
Gambar: Ibu Karsinah, kader Kesehatan Posyandu Duren Mekar, Kota Depok, ketika melakukan wawancara bersama Tim CISDI (Dok: CISDI)
Siang itu, Rabu, tanggal 5 Juli 2023, riuh jalanan dan kehebohan ibu-ibu kader kesehatan yang sedang mempersiapkan posyandu untuk acara besok menemani kami untuk berbincang dengan Ibu Karsinah. Para kader kesehatan menyambut kedatangan kami dengan senyum sapa.
Bertempat di halaman sebuah rumah terbengkalai di sebelah Posyandu Cempaka, Duren Mekar, kami berbincang dengan Ibu Karsinah mengenai awal mula kisahnya menjadi kader kesehatan.
Ibu Karsinah menuturkan, perjalanannya menjadi kader kesehatan berawal dari keingintahuannya tentang perkembangan anak-anak. Beliau bercerita jika ketertarikannya ini dimulai dari tahun 2000-an ketika dia menempati perumahan baru. Menurutnya, layanan kesehatan di sekitar rumahnya saat itu cukup mudah diakses, khususnya posyandu yang jaraknya kurang dari satu kilometer. Kader kesehatan juga sudah dijumpai di wilayahnya. Hanya saja, jumlahnya belum banyak.
Ibu Karsinah mendapati sebuah kejanggalan. Dengan akses yang terbilang mudah dan dekat, posyandu tidak serta merta diminati penduduk. “Banyak ibu muda di sana masih malas mengunjungi posyandu untuk memeriksakan anaknya. Saat itu banyak ibu muda yang bekerja dan anaknya rata-rata ditinggal sama pengasuh,” tutur Ibu Karsinah.
Gambar: Suasana konsolidasi para kader kesehatan Posyandu Cempaka, Duren Mekar menjelang kegiatan Posyandu (Dok: CISDI)
Faktor lain yang membuat Ibu Karsinah tergerak menjadi kader kesehatan adalah anak. “Saya tergugah karena dulu di lingkungan belum banyak kader kesehatan, dan karena anak-anak saya masih kecil, jadi ingin tahu lebih dalam soal perkembangan anak-anak. Saya pun berinisiatif mendorong warga untuk bikin program posyandu, supaya anak-anak bisa terpantau perkembangannya,” tutur Ibu Karsinah.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai kader kesehatan, Ibu Karsinah setiap hari menghabiskan waktu perjalanan 1-2 jam dengan sepeda motor untuk mengunjungi balita-balita stunting di wilayah Kelurahan Duren Mekar. Ibu Karsinah mengatakan biasa bekerja dari Senin-Jumat, namun tidak menampik jika hari Sabtu atau Minggu ia terkadang harus bekerja jika ada panggilan. “Di akhir pekan biasanya sih ngambil libur ya, tapi kadang-kadang kalo lagi diperluin atau dipanggil ya kita gerak, dan biasanya sih itu hari Sabtu aja,” tutur Ibu Karsinah.
Dalam sehari Ibu Karsinah terbiasa mengunjungi delapan keluarga balita di bawah dua tahun dengan stunting (baduta) di seluruh kelurahan yang ada di kecamatan Bojongsari. Beliau mengatakan jika total baduta di wilayah Duren Mekar saat ini ada 95 anak Tetapi program kelompok kerja 4 (Pokja 4) saat ini baru mampu menangani 25 baduta saja karena keterbatasan dana.
Melihat cakupan kerja yang terbilang menyita waktu dan tenaga tersebut, kami menanyakan sejauh mana dukungan keluarga terhadap pilihan Ibu Karsinah menjadi kader kesehatan. Merespons pertanyaan itu, Ibu Karsinah mengatakan bahwa keluarga mendukung dia sepenuhnya.
“Tidak ada yang menghalangi saya ketika berkegiatan di luar rumah. Anak-anak saya sekarang juga sudah dewasa. Saya pun kemana-mana berkendara tanpa harus menunggu diantar oleh orang lain yang memudahkan saya untuk berkeliling ke masyarakat,” ucapnya.
Didapuk Sebagai Duta Stunting
Stunting dan wasting menjadi salah satu fokus isu yang diintervensi Ibu Karsinah. Sebab, wilayah Puskesmas Duren Seribu tercatat memiliki permasalahan stunting dan wasting yang cukup tinggi di Kota Depok.
Gambar: Ibu dan anaknya (balita) ketika mengikuti program kegiatan penimbangan di Posyandu Duren Mekar, Kota Depok (Dok: CISDI)
Menurut data Puskesmas Duren Seribu, kasus stunting di wilayah tersebut masih berada di angka 259 atau 9,08 persen dari 2851 balita yang ditimbang berdasarkan data E-PPGBM BPB (Bulan Penimbangan Balita) pada Februari 2023. Angka ini termasuk tinggi karena, salah satu penyebab prevalensi stunting tinggi di Duren Seribu adalah masih rendahnya capaian data D/S (ditimbang per sasaran) tidak mencapai 100%. Pada Juli 2023, misalnya, terdapat 1.168 balita di wilayah Duren Mekar. Namun, dalam kegiatan penimbangan data D/S menunjukan hanya 49% atau 574 balita saja yang mengikuti kegiatan penimbangan. Capaian D/S yang rendah dapat menghambat deteksi dini masalah kesehatan seperti wasting, stunting, gizi kurang pada balita yang nantinya berdampak pada lambatnya penangan ada balita dengan masalah kesehatan.
Ibu Karsinah menuturkan bahwa rendahnya capaian data D/S karena banyak ibu yang tidak hadir dalam kegiatan Bulan Penimbangan Balita di posyandu. Di sinilah kader kesehatan mengambil peran krusial. “Biasanya kami langsung turun mengecek ke rumah-rumah buat menimbang langsung balita yang engga hadir ke kegiatan,” ucap Ibu Karsinah.
Dalam upayanya menuntaskan stunting, Ibu Karsinah sehari-hari mendampingi para ibu muda yang ingin mengetahui kondisi kesehatan anak balita mereka. Biasanya banyak ibu muda meminta anaknya untuk ditimbang di posyandu. Namun, manakala posyandu sedang tidak ada kegiatan, Ibu Karsinah aktif melakukan pemantauan balita melalui WhatsApp, “Biasanya lewat WhatsApp, saya lebih banyak ngasih informasi dan ngajak mereka kegiatan posyandu atau kunjungan. Kalo ada yang engga bisa hadir saya ingetin untuk nimbang sendiri balitanya, lalu hasilnya dilaporkan ke saya. Kalo memang ga ada timbangan sendiri , biasanya saya ingetin lagi untuk hadir di kegiatan selanjutnya,” ucap Ibu Karsinah. Kegiatan penurunan stunting ini banyak mendapatkan dukungan baik dari private sector, hingga dukungan masyarakat sekitar seperti Yayasan Al Qohar, dan Warung Gratis RW 5.
Selain membantu ibu-ibu muda, Ibu Karsinah juga kerap memberikan bantuan kesehatan kepada warga lanjut usia (lansia) di wilayahnya dengan sistem jemput bola.
“Biasanya saya dan kader kesehatan lain sering keliling dari rumah ke rumah untuk memantau kesehatan para lansia. Kami mengecek tensi darah atau menimbang berat badan mereka,“ tutur Ibu Karsinah.
Puskesmas Duren Seribu memiliki program penanganan stunting yang dinamai SAKA BANTING (Satu Kader, Satu Balita Stunting). Program intervensi ini mendorong para kader kesehatan untuk mendampingi dan memberikan konseling kepada setiap keluarga di wilayahnya. Salah satu kegiatan yang kerap dilakukan para kader kesehatan adalah memasak dan membagikan makanan bergizi bagi balita stunting.
Bagi Ibu Karsinah, jerih payah yang dilakukannya untuk mengentaskan angka balita stunting di wilayahnya selama tiga tahun terakhir telah membuahkan hasil manis. Salah satunya soal turunnya angka stunting. “Saya mulai terlibat aktif mengentaskan stunting itu dari tahun 2020 lewat program ibu wali kota. Hasilnya memang banyak balita stunting yang membaik, tapi muncul juga kasus baru balita stunting,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa tidak semua stunting disebabkan persoalan makanan. Ada pula faktor penyebab dari pola asuh orang tua yang kurang perhatian terhadap anaknya. Menurut Ibu Karsinah, di daerahnya saat ini sudah terjadi perbaikan perubahan perilaku ini, namun perlu ditingkatkan kembali.
Keteguhannya sebagai kader kesehatan dalam isu stunting inilah yang menjadikan Ibu Karsinah sebagai duta stunting Kelurahan Duren Mekar, salah satu wilayah Puskesmas Duren Seribu.
“Awal terpilih sebagai duta stunting itu tidak ada kriteria spesifik. Namun saat itu karena saya merupakan kader PKK POKJA (Kelompok Kerja) 4 yang menangani kesehatan, banyak teman saya yang memilih saya sebagai duta stunting karena menghormati pengalaman saya menjadi kader kesehatan,” ujar Ibu Karsinah.
Sisi Lain Kader Kesehatan
Di daerah manapun di Indonesia, keberadaan kader kesehatan rasanya tidak dapat dilepaskan dari predikat “ikhlas membantu”. Menjadi kader kesehatan tidaklah mudah karena memerlukan niat yang bulat dan tekad yang kuat untuk membantu sesama.
Ibu Karsinah menuturkan bahwa menjadi kader kesehatan tidak bisa mengharapkan balas jasa berupa materi layaknya pekerja dengan standar gaji UMR (upah minimum regional). Para kader kesehatan selama ini hanya mendapatkan insentif atau apresiasi dari pemerintah dalam jumlah alakadarnya. Bahkan tak jarang kader kesehatan yang tidak memperoleh apa-apa atas hasil kerja keras mereka.
“Ada apresiasi dari pemerintah kota, tapi memang satu tahun sekali dan jumlahnya sekitar ratusan ribu. Hanya seperti uang pengganti transportasi ketika kami ke pelatihan dan kunjungan,” kata Ibu Karsinah. “Dibilang gaji juga tidak memadai, jadi ya kami anggap sebagai uang jajan sajalah.”
Selain tak mendapatkan insentif layak, kader kesehatan saat melakoni tugas lapangan acap menggunakan peralatan yang dibeli secara mandiri. Misalnya, alat ukur tensi (tensimeter). Kendati begitu, Ibu Karsinah tak berkecil hati. “Saya tetap menjalankan tugas sebagai kader kesehatan dengan prinsip SAJUTA, yaitu sabar, jujur, dan tabah,” ujarnya sambil terbahak.
Pada masa awal kariernya sebagai kader kesehatan, Ibu Karsinah bahkan pernah dicibir tetangga dan keluarga dekat. Tetangga menganggapnya terlalu sibuk di luar rumah dan menomorduakan keluarga. “Tapi setelah saya kasih penjelasan, akhirnya mereka mengerti juga. Saya keluar rumah bukan untuk hura-hura dan ngobrol sono-sini yang tidak bermanfaat,” kata dia.
Keseharian Ibu Karsinah memang tidak hanya menjadi kader kesehatan. Dia juga merupakan ibu rumah tangga yang kerap meluangkan waktunya untuk kerja-kerja sosial yang bermanfaat untuk orang lain. Ia bercerita bahwa dirinya saat ini menjabat Ketua Majelis Taklim di lingkungan tempat tinggalnya sekaligus pengurus bank sampah di lingkungan RT.
Namun, karena harus turut membantu perekonomian keluarga, Ibu Karsinah juga terkadang mengambil pekerjaan sebagai wedding organizer (WO) pada hari Sabtu atau Minggu untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
“Alhamdulillah, dari bekerja sebagai WO ini saya juga nambah wawasan, pengalaman, dan pertemanan,” ucapnya.
Gambar: Foto Ibu Karsinah bersama keluarga. (Dok: CISDI)
Ketiadaan penghasilan tetap dari profesi mereka menjadi sebuah pemakluman. Untuk tetap menyambung hidup bagi dirinya dan keluarga, kader kesehatan kerap menjalani multi-profesi. Apalagi, rerata kader kesehatan adalah ibu-ibu rumah tangga. Semestinya, permasalahan kesejahteraan kader kesehatan ini tidak cukup hanya diselesaikan dengan menjalani pekerjaan ganda atau lebih. Persoalan ini merupakan masalah terstruktur dalam kebijakan yang belum mampu melihat pentingnya memberikan insentif layak bagi kesejahteraan kader kesehatan.
Segala permasalahan itu tak lantas membuat Ibu Karsinah patah arang dalam menjalani perannya sebagai kader kesehatan. Hari itu, saat jarum jam menunjukkan pukul tiga sore, Ibu Karsinah melalui kami masih menitipkan pesan positif untuk para kader kesehatan. Mereka yang turut berjibaku seperti dirinya demi mewujudkan kesehatan masyarakat. “Buat kader kesehatan di luar sana, tetap semangat dan terus tebarkan kebaikan untuk orang lain,” ucap Ibu Karsinah seraya tersenyum lebar.
Penulis: Tengku Raka
Peliput: Zenithesa Gifta Nadirini, Dedi Funda
Editor: Mahardika Satria Hadi