Lompat ke konten utama
Logo CISDI: Simbol kolaborasi tiga pilar strategis—riset, advokasi, dan peningkatan kapasitas—untuk kemajuan kesehatan Indonesia.
Thumbnail

Feature

Rugikan Kesehatan Masyarakat, Usulan Moratorium Kenaikan Cukai Rokok Harus Ditolak

Hanindito Arief Buwono28 Agu 2025

Seruan moratorium kenaikan cukai rokok menguat dalam beberapa bulan terakhir. Bermula dari para pelaku industri hasil tembakau, dorongan menghentikan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan juga disuarakan sejumlah kepala daerah, petani tembakau, hingga kalangan pekerja industri hasil tembakau.


Alasan yang mereka kemukakan berbagai macam. Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), misalnya, menyatakan kinerja industri hasil tembakau khususnya sigaret putih mesin (SPM) makin melemah karena tekanan regulasi CHT. Mengklaim pembelian pita cukai terus merosot sejak 2023, Gaprindo juga menyoroti maraknya rokok ilegal yang memperburuk persaingan usaha. Sebab, kenaikan cukai dianggap memicu maraknya rokok ilegal.


Di Jawa Timur, provinsi dengan jumlah industri hasil tembakau (IHT) terbanyak di Indonesia, Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) menyatakan kenaikan cukai membuat pabrik-pabrik kecil kian terpuruk. Pabrik yang dulu menyerap ribuan tenaga kerja kini banyak yang hanya bisa bertahan dengan ratusan atau bahkan puluhan pekerja. Beberapa perusahaan disebut terpaksa menutup usahanya karena tidak lagi sanggup menghadapi biaya produksi yang melonjak.


Dari unsur kepala daerah, Bupati Karawang Aep Syaepuloh menilai kenaikan tarif cukai yang terlalu agresif dapat mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) dan berdampak langsung pada tenaga kerja serta pendapatan daerah. Aep adalah salah satu kepala daerah yang meminta pemerintah pusat untuk mempertimbangkan kebijakan yang lebih berimbang. Seperti pelaku industri, Aep juga menganggap kenaikan cukai rokok dapat mendorong peredaran rokok ilegal yang merugikan industri rokok legal dan daerah.


Kendati diserukan banyak pihak, wacana moratorium kenaikan cukai rokok tidak lantas dapat dibenarkan. Sebab, usulan menyetop kenaikan tarif cukai hasil tembakau tersebut tidak berdasar dan cenderung mengada-ada. Usulan moratorium ini juga tidak berbasis bukti dan tidak mempertimbangkan aspek kesehatan masyarakat yang dampak negatifnya justru besar dan luas untuk publik.


Mengapa demikian? Berbagai studi menunjukkan, cukai terbukti sebagai instrumen yang paling efektif dalam pengendalian konsumsi rokok. Moratorium kenaikan cukai justru membuat produk tembakau semakin terjangkau, terutama pada anak dan kalangan rentan. Menghentikan kenaikan cukai juga bertentangan dengan prioritas pembangunan sumber daya manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.


Apa Itu Cukai Rokok?

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik khusus sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Beberapa karakteristik atau sifat tersebut antara lain:


  • Konsumsinya perlu dikendalikan.
  • Peredarannya perlu diawasi.
  • Pemakaiannya dapat mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.
  • Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.


Berdasarkan Undang-Undang Cukai, barang yang dikenai cukai di Indonesia meliputi tiga kategori, yaitu:


  1. Hasil tembakau, meliputi rokok, sigaret, cerutu, tembakau iris, rokok elektrik, dan produk tembakau lain yang dikonsumsi secara luas. 
  2. Etil alkohol atau ethanol, digunakan dalam berbagai industri, seperti farmasi, kosmetik, dan minuman beralkohol.
  3. Minuman mengandung etil alkohol, yang merupakan minuman beralkohol dengan kadar alkohol yang bervariasi.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa rokok termasuk barang kena cukai untuk mengendalikan konsumsi yang berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Cukai rokok juga merupakan instrumen penting untuk meningkatkan penerimaan negara.


Cukai rokok telah naik beberapa kali sepanjang 2012-2022. Rata-rata angka kenaikannya sebesar 10,8 persen setiap tahun. Kenaikan cukai tertinggi terjadi pada 2020. Ketika itu tarif cukai hasil tembakau naik sebesar 23 persen.


Kementerian Keuangan pada 2023 dan 2024 sebenarnya telah berhasil menerapkan kebijakan kenaikan tarif CHT secara tahun jamak (multiyears) sebesar 10 persen. Pada 2023 dan 2024, penerimaan dari CHT sebesar Rp 213 triliun dan Rp 216,9 triliun.


Sayangnya, langkah pemerintah dalam mengendalikan produk tembakau justru mengalami kemunduran setelah memutuskan tidak menaikkan tarif CHT atau cukai rokok tahun 2025.


Mengapa Cukai Rokok Penting?

Cukai rokok sangat penting untuk mengurangi keterjangkauan masyarakat terhadap segala bentuk produk tembakau. Cukai rokok yang lebih tinggi membuat produk-produk tembakau lebih mahal. Akibatnya, prevalensi merokok pada semua segmen populasi dapat ditekan.


Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), prevalensi merokok di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara dan dunia. Sekitar sepertiga dari populasi orang dewasa di Indonesia mengkonsumsi rokok, terutama rokok kretek.


Berdasarkan Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, sekitar 65,5 persen pria dewasa Indonesia mengkonsumsi produk tembakau, termasuk rokok. Jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, sebanyak 7,4 persen di antaranya berusia 10-18 tahun.


Dengan prevalensi perokok yang terbilang tinggi, keputusan pemerintah tidak menaikkan tarif CHT tahun ini tentu kontraproduktif. Padahal, kenaikan cukai sebesar 10 persen pada 2024 masih tergolong kecil jika mengikuti rekomendasi WHO yang menyebutkan minimal kenaikan cukai rokok sekitar 25 persen per tahun.


Tarif CHT yang rendah membuat harga rokok di Indonesia relatif terjangkau dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hasil penelitian Economics for Health tahun 2022 juga menunjukkan bahwa harga rokok di Indonesia masih terbilang murah. Bahkan, rokok gampang dijangkau anak-anak dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Dampaknya, mengubah perilaku masyarakat untuk berhenti merokok menjadi kurang efektif jika dibandingkan dengan Singapura dan Filipina.


Mengacu data dan berbagai kajian ilmiah itu, CISDI berpendapat kenaikan tarif cukai rokok dengan angka yang signifikan sangat penting untuk dilakukan. Dari sisi kesehatan masyarakat, terdapat berbagai studi yang menunjukkan bahwa cukai adalah instrumen paling efektif dalam pengendalian konsumsi rokok. Cukai rokok dapat membatasi akses masyarakat terhadap produk tembakau, terutama pada anak dan kalangan rentan.


Riset CISDI pada 2025 menunjukkan kenaikan harga rokok akan mengurangi kemungkinan inisiasi merokok sebesar 22 persen di kalangan remaja. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa populasi yang lebih muda lebih sensitif terhadap perubahan harga rokok dan dapat meluas ke penurunan konsumsi tembakau di kalangan teman sebaya dan orang dewasa.


Cukai rokok tidak hanya memiliki dampak positif terhadap kesehatan masyarakat. Hasil kajian CISDI tahun 2021 membuktikan bahwa kenaikan cukai sebesar 30 persen dapat menambah pendapatan negara hingga Rp 5 triliun. Pendapatan dari cukai rokok ini bisa dimanfaatkan oleh daerah penghasil tembakau dan industri rokok untuk membantu pekerja sektor tembakau untuk beralih ke pekerjaan yang lebih layak.


Sebagai bentuk dukungan terhadap upaya pemerintah menurunkan prevalensi perokok, CISDI selalu konsisten menyuarakan pentingnya kenaikan tarif CHT setiap tahun. Segala bentuk wacana, usulan, maupun dorongan untuk melemahkan upaya pengendalian tembakau di Indonesia harus ditolak. Salah satunya adalah usulan moratorium kenaikan cukai.


CISDI juga tergabung dalam Koalisi Pengendalian Tembakau yang turut menyuarakan penolakan usulan moratorium cukai rokok. Baca siaran persnya melalui tautan berikut.


-SELESAI-


Terbaru

  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===