
Siaran Pers
Mencegah Perokok Remaja, CISDI Dorong Kenaikan Cukai dan Pemberantasan Rokok Ilegal
Anandya Khairunnisa • 23 Apr 2025
Jakarta, 24 April 2025 – Harga rokok masih menjadi faktor krusial dalam membentuk perilaku merokok remaja di Indonesia. Hasil penelitian terbaru CISDI berjudul Dampak Harga Rokok dan Faktor Sosial pada Inisiasi Merokok Remaja di Indonesia menunjukkan kenaikan harga rokok, bersama faktor sosial, berpengaruh signifikan terhadap pembentukan perilaku merokok remaja.
“Perhitungan kami menunjukkan kenaikan harga rokok sebesar 10 persen akan mengurangi inisiasi merokok remaja hingga 22 persen,” kata Gea Melinda, Research Associate CISDI, dalam acara “Peluncuran Riset: Dampak Harga Rokok dan Faktor Sosial pada Remaja & Survei Rokok Ilegal” di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis, 24 April 2025.
Gea juga menjelaskan bahwa faktor sosial berupa orang tua perokok dan paparan asap rokok turut menjadi penentu bagi remaja untuk mengawali kebiasaan merokok. Temuan CISDI menunjukkan orang tua perokok akan mempengaruhi remaja untuk merokok lebih tinggi 1,3 kali lipat, dan paparan asap rokok setiap hari akan meningkatkan kemungkinan tersebut hingga 7 kali lipat.
“Ketika remaja mulai terpengaruh, mereka masih bisa mengakses rokok dengan uang sakunya karena harga rokok yang terjangkau. Karenanya, kami terus mendorong kenaikan cukai yang secara langsung menyebabkan harga rokok mahal sehingga semakin tidak dapat dijangkau remaja,” Gea berujar.
Penelitian ini juga menyoroti perubahan konsumsi saat harga berubah (elastisitas harga) pada tahap inisiasi (tahap awal mencoba-coba) merokok remaja Indonesia lebih besar dibandingkan negara lain, seperti Gambia, Zimbabwe, dan Polandia. Temuan ini menunjukkan remaja Indonesia lebih sensitif terhadap kenaikan harga rokok.
Selain riset tentang dampak harga rokok terhadap inisiasi merokok remaja, CISDI juga meluncurkan dua penelitian lain berjudul Policy Paper: Kebijakan Cukai Tembakau Tahun Jamak di Tujuh Negara: Dampak Positif dan Pembelajaran untuk Indonesia dan Rokok Ilegal: Studi dari Survei Kemasan Rokok di Enam Kota Indonesia. Ketiga riset ini disajikan melalui dua sesi talkshow dengan melibatkan sejumlah narasumber ahli lainnya.
Perihal harga rokok yang masih terjangkau di Indonesia, CISDI dalam policy paper menilai jika kenaikan harga rokok idealnya dilakukan secara konsisten untuk waktu yang lama dan sudah terencana dari awal.
Dalam riset tersebut, CISDI memetakan temuan penting tentang tujuh negara yang menerapkan cukai tembakau tahun jamak memperoleh dampak positif dari aspek ekonomi dan kesehatan secara maksimal.
“Kebijakan cukai tembakau tahun jamak mempercepat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk mengejar target-target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, khususnya target kebijakan cukai hasil tembakau hingga kesehatan,” ujar Gea.
Ibnu Ahmadsyah, Koordinator Pendapatan dan Belanja Negara, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, yang hadir dalam acara diseminasi riset, membenarkan temuan CISDI. “Melalui RPJMN 2025-2029 sudah tercantum untuk cukai hasil tembakau berupa ekstensifikasi cukai, simplifikasi, dan kenaikan tarif bertahap,” kata dia.
Selain cukai yang perlu terus ditingkatkan, CISDI juga mendorong pemerintah lebih serius memberantas peredaran rokok ilegal. Melalui survei rokok ilegal, CISDI mengumpulkan 7.417 kemasan rokok dari Kota Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar, dengan temuan 799 di antaranya adalah kemasan rokok ilegal.
“Kami juga menemukan sebesar 10,77 persen konsumsi rokok di enam kota itu merupakan konsumsi rokok ilegal. Angka signifikan yang membuktikan lemahnya aturan pengawasan rantai pasok tembakau,” kata Muhammad Zulfiqar Firdaus, peneliti CISDI, saat memaparkan hasil survei tersebut.
Makassar dan Surabaya menjadi dua kota dengan prevalensi rokok ilegal terbesar, yaitu 21,48 persen dan 20,61 persen. CISDI menilai kecil kemungkinan tingginya konsumsi rokok ilegal disebabkan kenaikan cukai. Tingkat konsumsi rokok ilegal yang bervariasi antara satu kota dengan kota lain menunjukkan faktor lokal jauh lebih berpengaruh.
Terkait faktor lokal, Zulfiqar menjelaskan, Surabaya mencatatkan prevalensi rokok ilegal yang tinggi karena Jawa Timur merupakan daerah dengan perkebunan tembakau terbesar. Konsentrasi pabrik rokok di Jawa Timur juga tertinggi di Indonesia. Sementara itu, Makassar, kendati bukan produsen utama tembakau di Indonesia, juga memiliki prevalensi rokok ilegal yang tinggi. “Kami melihat potensi distribusi rokok ilegal melalui pelabuhan besar di Surabaya ke Makassar,” kata Zulfiqar.
Penelitian rokok ilegal ini menekankan lemahnya aturan pengawasan rantai pasok tembakau, seperti lemahnya pengawasan kepemilikan mesin linting, hingga kemampuan produsen rokok ilegal mencetak label peringatan kesehatan bergambar (Pictorial Health Warning/PHW) seperti rokok legal di pasaran.
“Kemampuan produsen rokok ilegal mencetak PHW mengelabui konsumen yang tidak tahu ciri-ciri produk ilegal. Ini terbukti dengan temuan kemasan rokok ilegal yang paling banyak, sebesar 63,5 persen, adalah rokok ilegal dengan merek tidak terdaftar, tidak memiliki pita cukai, tapi memiliki PHW,” jelasnya.
Harga rokok yang mahal jelas mencegah remaja mencoba-coba mengkonsumsi rokok dan harga rokok yang naik konsisten melalui skema cukai tahun jamak juga terbukti berdampak positif di tujuh negara. Penelitian CISDI perihal rokok ilegal mematahkan argumen kenaikan cukai jadi penyebab utama rokok ilegal. Alih-alih kenaikan cukai, peningkatan konsumsi rokok ilegal besar kemungkinan disebabkan lemahnya penegakan hukum, pengawasan rantai pasok, dan faktor lokal masyarakat.
-SELESAI-
Tentang CISDI
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah organisasi nirlaba yang bertujuan memajukan pembangunan sektor kesehatan dan penguatan sistem kesehatan melalui kebijakan berbasis dampak, riset, advokasi dan intervensi.
Informasi lebih lanjut:
Anandya Khairunnisa
Advocacy Officer for Tobacco Control
+62 877 0829 8016
Email: media@cisdi.org
www.cisdi.org