Lompat ke konten utama
Logo CISDI: Simbol kolaborasi tiga pilar strategis—riset, advokasi, dan peningkatan kapasitas—untuk kemajuan kesehatan Indonesia.
Thumbnail

Feature

Jangan Salahkan Cukai, Maraknya Rokok Ilegal Akibat Lemahnya Penegakan Hukum

Hanindito Arief Buwono2 Okt 2025

Dengan alasan menjaga lapangan kerja, pemerintah memutuskan tidak menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun 2026. Pernyataan mengenai tidak naiknya cukai rokok ini pertama kali terlontar dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada Jumat, 26 September 2025.


Kepada jurnalis, Menteri Keuangan yang baru menjabat sejak 8 September lalu tersebut mengatakan keputusan tidak menaikkan cukai rokok diambil setelah pihaknya berdiskusi secara daring dengan sejumlah produsen rokok yang tergabung dalam Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri).


Menteri Keuangan beralasan, keputusan tidak menaikkan cukai rokok diambil sebagai langkah strategis untuk melindungi industri legal dalam negeri dan membendung peredaran rokok ilegal yang berpotensi merusak pasar yang merugikan negara.


Cukai rokok selama ini memang selalu dijadikan “kambing hitam” atas maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia. Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), misalnya, menyatakan bahwa kenaikan cukai rokok membuat konsumen beralih ke jenis rokok yang lebih murah, salah satunya adalah memilih rokok ilegal.


Menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, peredaran rokok ilegal telah berpotensi membuat negara kehilangan penerimaan hingga Rp 15-25 triliun per tahun. Dari aspek penindakan, DJBC telah menyita sebanyak 253,7 juta batang rokok ilegal pada 2023. Setahun kemudian, jumlah ini melonjak tajam menjadi 710 juta batang dengan nilai mencapai Rp 1,1 triliun. Pada 2025, DJBC telah menyita 745,9 juta batang rokok ilegal dari 12.041 penindakan hingga September.


Tren konsumsi rokok ilegal yang semakin masif terlihat sejak 2021 hingga 2024. Bahkan, terjadi peningkatan persentase konsumsi rokok ilegal sebesar 46,95 persen pada 2024 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.


Dengan dalih konsumsi rokok ilegal yang terus meningkat, industri hasil tembakau selama ini menentang kebijakan kenaikan cukai rokok. Padahal, berbagai studi justru menunjukkan cukai menjadi instrumen fiskal paling efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Isu rokok ilegal yang kerap dijadikan alasan untuk menahan kenaikan cukai pun tidak didukung bukti ilmiah.


Apa Itu Rokok Ilegal

Kementerian Keuangan menjelaskan, rokok ilegal adalah rokok yang beredar di wilayah Indonesia, baik diproduksi dalam negeri maupun impor, yang tidak mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia. Rokok ilegal tidak memenuhi kewajiban sebagai barang kena cukai yang ditandai dengan adanya pelanggaran pada penerapan pita cukai.


Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menerangkan ada lima ciri sebuah rokok yang bisa dikategorikan sebagai ilegal. Pertama, rokok polos atau tanpa dilekati pita cukai. Jenis rokok ini walaupun sudah dikemas dengan rapi dan siap edar, tidak dilekati pita cukai resmi dari Bea dan Cukai sehingga secara kasat mata dapat terlihat langsung di produk.


Ciri kedua yaitu rokok dengan pita cukai palsu. Modus ini biasanya mengemas rokok dengan pita cukai, namun tidak resmi yang diterbitkan Bea dan Cukai. Biasanya pita cukai ini dicetak pribadi menggunakan kertas biasa.


Berikutnya adalah rokok dengan pita cukai bekas pakai. Ciri-ciri rokok ilegal jenis ini biasanya menggunakan pita cukai yang pernah dipakai dalam produk sebelumnya atau produk lain. Pita cukai bekas biasanya bisa terlihat dengan kondisi tidak bagus atau terdapat sedikit bekas robekan di ujung-ujung pita cukai.


Ciri keempat adalah rokok dengan pita cukai salah peruntukan. Jenis rokok ilegal ini sebenarnya dilekati pita cukai resmi oleh Bea dan Cukai, namun tidak sesuai peruntukannya.


Terakhir adalah rokok dengan pita cukai salah personalisasi. Jenis rokok ilegal ini berarti pita cukai yang ditempel pada kemasan rokok mencantumkan nama perusahaan yang berbeda dengan nama perusahaan yang memproduksi rokok tersebut.


Rokok Ilegal Bahaya tapi Cukai Rokok Tetap Penting

CISDI tahun ini meneliti karakteristik rokok ilegal di enam kota di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa usulan moratorium atau penundaan kenaikan tarif CHT atau cukai rokok untuk menekan peredaran rokok ilegal tidak berlandaskan bukti ilmiah dan bahkan tidak ada korelasinya.


Survei CISDI dilakukan di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Hasil riset menunjukkan peredaran rokok ilegal lebih banyak terjadi di wilayah dengan area perkebunan tembakau yang luas dan jumlah pabrik rokok yang banyak. Surabaya dan Makassar menjadi wilayah dengan peredaran rokok ilegal terbanyak karena merupakan kota pelabuhan yang menghubungkan pasokan logistik antara wilayah tengah dan timur Indonesia.


Berdasarkan riset tersebut, peredaran rokok ilegal utamanya bukan dipengaruhi kenaikan cukai, melainkan faktor rantai pasok yang tidak diawasi dengan tegas. Karenanya, peredaran rokok ilegal dapat ditekan dengan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum melalui koordinasi antar-lembaga seperti Bea dan Cukai, penegak hukum, lembaga peradilan, dan otoritas kesehatan.


Selain itu, peredaran rokok ilegal memiliki dampak serius terhadap kesehatan masyarakat, khususnya di kalangan anak dan remaja, karena harganya yang jauh lebih murah. Riset CISDI pada 2025 menunjukkan, menyederhanakan struktur tarif CHT dapat mempersempit variasi harga rokok di pasaran sehingga celah peredaran dan akses terhadap rokok ilegal atau rokok murah di masyarakat berkurang. Kebijakan simplifikasi ini, bersamaan dengan kenaikan tarif CHT, akan membuat harga rokok lebih terkendali, konsumsi menurun, dan upaya masyarakat untuk berhenti merokok menjadi lebih optimal. 


Riset CISDI pada 2025 juga menunjukkan kenaikan harga rokok sebesar 10 persen akan mengurangi kemungkinan inisiasi merokok sebesar 22 persen di kalangan remaja. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa cukai rokok terbukti efektif menurunkan konsumsi tembakau di kalangan remaja karena populasi tersebut lebih sensitif terhadap perubahan harga rokok. Kenaikan harga juga dapat menurunkan konsumsi rokok di kalangan populasi orang dewasa.


CISDI selalu konsisten menyuarakan pentingnya kenaikan tarif CHT atau cukai rokok setiap tahun karena efektif sebagai instrumen fiskal untuk mengurangi prevalensi perokok di Indonesia. Sebab itu, segala bentuk usulan dan wacana untuk melemahkan pengendalian tembakau harus ditolak karena rokok sudah terbukti berdampak negatif terhadap kesehatan.


CISDI melalui Koalisi Pengendalian Tembakau juga terus menyuarakan penolakan usulan atau wacana moratorium kenaikan cukai rokok. Silahkan baca siaran pers melalui tautan berikut.


-SELESAI-


Terbaru

  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===
  • ===